Mantv7.id | Kabupaten Tangerang — Ketika jurnalis yang mencari kebenaran justru diseret ke ruang intimidasi, dan lembaga pendidikan bertingkah bak algojo moral, publik pantas menggugat: ini negeri hukum atau panggung premanisme berjubah agama? Dua jurnalis, SN dan TS, tidak sedang menyebar hoaks, melainkan menulis fakta dugaan pungutan liar dalam program study tour siswa. Namun, yang mereka terima justru teror, tekanan, dan pemaksaan untuk meminta maaf.
Siapa pelakunya? Yayasan MA Hidayatul Ummah. Apa modusnya? Dugaan persekusi terhadap jurnalis yang terekam dalam video. Siapa yang membiarkan? Diamnya Kementerian Agama Kabupaten Tangerang menjawab dengan sunyi. Ketika kebenaran digulung dalam tekanan dan jurnalis dipaksa tunduk, itu bukan sekadar pelecehan profesi, tapi pengkhianatan terhadap demokrasi.

Gambar hasil pembuatan surat pernyataan dalam tekanan intimidasi, surat permohonan maaf atas karya jurnalistik yang telah diterbitkan. (Foto: IST. Mantv7)
Publik bertanya, di mana Kemenag saat jurnalis dibungkam? Apa fungsi Kasi Pontren? Di mana sikap Kepala Kemenag? Ketika kantor instansi tersebut lebih sunyi dari kuburan dan pejabatnya fasih menghindar daripada menjawab, publik berhak meragukan seluruh klaim pembinaan yang selama ini didengungkan. Jika tak mampu mengawasi, berhentilah menjual slogan religius.
Ini bukan hanya pembiaran ini adalah kelumpuhan fungsi negara. Kemenag yang seharusnya menjadi penjaga nilai dan etika pendidikan justru tampil sebagai siluet kosong. Pejabatnya tanpa suara, tanpa sikap, dan tampaknya tanpa rasa malu. Mereka lupa bahwa jabatan publik bukan warisan, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
Inspektorat dan APIP pun ikut-ikutan lumpuh. Banyak berita beredar terabaikan, pengawasan mandek, dan evaluasi baru bergerak setelah kasus menjadi santapan media. Jika semua baru bertindak setelah viral, maka mereka bukan pengawas, melainkan komentator bencana. Negara tak butuh pegawai pencitraan—negara butuh pelindung yang sigap, bukan yang sibuk menyelamatkan diri.
DPRD Kabupaten Tangerang juga layak digugat. Wakil rakyat yang digaji dari uang rakyat tampak seperti boneka diam di ruang rapat. Padahal rilis media telah banyak, kegaduhan publik semakin besar. Namun suara dewan nihil. Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang mereka wakili? Rakyat atau sistem bisu?
Pendidikan seharusnya membentuk karakter, bukan menggilas keberanian. Ketika sebuah yayasan merasa sah menindas jurnalis, maka ini bukan lagi soal satu lembaga, melainkan persoalan runtuhnya etika kelembagaan negara. Dugaan pungutan liar, dugaan intimidasi, dan dugaan pelanggaran kode etik pendidikan tak akan muncul jika pengawasan berjalan sebagaimana mestinya.

Foto Kabid Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
Siarruddin dari DPP YLPK PERARI angkat bicara, “Jurnalis dibungkam, negara diam. Ini preseden buruk. Jika negara tak mampu membela kebenaran, maka rakyat yang akan turun tangan. Kami tidak diam. Pers adalah benteng terakhir rakyat kecil. Sekali benteng itu dirusak, maka rakyat akan membangun perlawanan dari bawah.”
Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang, bahkan lebih keras menyuarakan keprihatinan: “Ini bukan sekadar berita ini soal kemanusiaan. Dua jurnalis dipaksa tunduk oleh tekanan yayasan, sementara pemerintah daerah cuma jadi penonton. Kami minta Bupati Tangerang dan jajarannya jangan hanya jadi pemadam kebakaran. Jangan tunggu api membesar untuk mencari air. Ini waktunya bertindak, atau digulung oleh krisis kepercayaan.”

Foto Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang. (Foto: Mantv7.id)
Lalu, ke mana langkah Bupati dan Wakil Bupati Tangerang? Jika mereka tetap memilih diam, itu bukan sekadar kelemahan melainkan pengkhianatan. Pemimpin sejati tak menunggu tekanan publik untuk bertindak. Audit menyeluruh dan penindakan tegas harus segera dilakukan. Jika tidak, rakyat akan menyimpulkan: mereka sedang melindungi pelanggaran.
Bagaimana dengan OPD lainnya? Dinas Pendidikan? BKPSDM? Satuan Polisi Pamong Praja? Jika semuanya berlindung di balik frasa “bukan kewenangan kami”, maka lebih baik slogan daerah diganti dari “Tangerang Gemilang” menjadi “Tangerang Tenggelam dalam Pembiaran.”
Jurnalis bukan kriminal. Mereka bukan pembuat gaduh, tapi penjaga akal sehat bangsa. Jika di tanah yang katanya religius saja jurnalis diperlakukan seperti pesakitan, maka publik tak lagi akan percaya pada berita. Mereka akan percaya pada rumor, dan dari situlah kehancuran kepercayaan terhadap negara akan bermula.
Ini saatnya semua yang bertanggung jawab angkat suara. Jangan menunggu rakyat turun ke jalan. Jangan menunggu pers melawan. Karena ketika suara kebenaran dibungkam, sejarah akan mencatat siapa yang memilih berdiri di sisi kegelapan dan siapa yang berpihak pada cahaya.
(OIM|Mantv7.id)