Mantv7.id | Dunia jurnalistik selalu memunculkan pertanyaan klasik: wartawan itu profesi semata, panggilan hidup, atau sekadar formalitas demi mencari nama? Pertanyaan ini bukan hanya soal pekerjaan, tetapi juga menyentuh kedalaman hati, tanggung jawab, serta fungsi pengawasan yang melekat pada amanah seorang jurnalis. Bagi sebagian orang, wartawan hanyalah profesi. Motivasi utamanya jelas: mencari nafkah, membangun karier, atau mengejar status sosial. Tanggung jawabnya terikat pada jam kerja, atasan, dan aturan media. Berita lahir sesuai kebutuhan redaksi, target oplah, atau pageview semata. Profesionalisme memang ada, tetapi ruang kritis sering terkikis oleh kepentingan komersial. Di titik ini, publik kerap menemukan dugaan oknum media yang justru nyaman dalam arus “pencitraan”. Liputan dipenuhi seremoni pejabat, publikasi program pembangunan, dan narasi manis tentang capaian daerah. Namun ketika ada dugaan penyimpangan anggaran, proyek mangkrak, atau keresahan warga, oknum media jenis ini memilih bungkam dengan dalih “sudah bermitra.”
Lebih ironis lagi, ada dugaan oknum media yang mengaku sebagai pusat pemberitaan sebuah wilayah, seolah menjadi poros informasi lokal. Namun dalam praktiknya, media itu tidak memberi manfaat besar bagi masyarakat maupun media lokal lain. Ia hanya sibuk menyiarkan aktivitas rutin dan pencitraan wilayah yang dia kendalikan. Begitu muncul kejanggalan atau dugaan temuan bermasalah, oknum media tersebut langsung menutup mata, berlindung di balik alasan menjaga kerja sama kewilayahan.
Di sisi lain, ada wartawan yang menjalani profesinya sebagai panggilan hidup. Motivasi mereka bukan sekadar uang atau jabatan, melainkan dorongan batin untuk membela kebenaran, mengungkap kejanggalan, dan memberi suara pada yang terpinggirkan. Tanggung jawab moral dan etis menuntun langkah mereka, bahkan di luar jam kerja.
Liputan investigasi, tulisan kritis, hingga berita yang mengguncang nurani publik lahir dari keberanian ini. Hasilnya mungkin tidak sebanding secara materi, tetapi meninggalkan jejak perubahan sosial dan kepuasan batin. Contohnya, wartawan yang berani menelusuri dugaan korupsi, pelanggaran HAM, hingga praktik kotor dalam pengelolaan anggaran publik, meski harus menghadapi risiko intimidasi dan ancaman.
Fenomena ini menjadi cermin keras bagi dunia pers. Publik semakin jeli membedakan mana wartawan yang sekadar jadi alat pencitraan, dan mana yang sungguh-sungguh menjaga amanah profesi. Di satu sisi, ada dugaan media yang gemar menahbiskan diri sebagai pusat informasi wilayah, tetapi faktanya bungkam saat ada dugaan penyalahgunaan dana publik di lingkungannya. Di sisi lain, ada wartawan idealis yang tetap berdiri tegak, berjuang dengan pena untuk membela kepentingan rakyat.

Logo Hefi Sanjaya & Partners. (Foto:Mantv7.id)
Aktivis hukum dan sosial, Donny Putra T, S.H., dari Law Firm Hefi Sanjaya & Partners menegaskan, kemerdekaan pers punya dasar hukum yang tidak boleh ditawar. “UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas menggariskan kebebasan pers sebagai hak asasi. Dugaan praktik membungkam pers, atau wartawan yang hanya jadi corong pencitraan, sama saja merampas hak publik atas informasi. Pers yang melenceng dari kode etik bisa kena sanksi, bahkan pidana. Ini bukan sekadar profesi, tapi amanah hukum,” tegas Donny.

Logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Senada dengan itu, Buyung E., Humas YLPK Perari DPD Banten, bicara pedas dari sisi kontrol sosial. “Dugaan media yang hanya jadi juru bicara pejabat tanpa menyentuh keresahan rakyat adalah bentuk pengkhianatan terhadap fungsi pers. Wartawan itu mata dan telinga masyarakat, bukan penyanyi panggung kekuasaan. Kalau pers ikut bungkam, rakyat yang paling rugi. Ini harus jadi tamparan keras bagi semua pihak,” katanya lantang.
Sementara itu, Ustad Ahmad Rustam, aktivis kerohanian dan sosial, mengingatkan dengan bahasa nurani. “Dalam Islam, menutupi kebenaran adalah dosa besar. Wartawan yang berdiam diri melihat kezaliman sama halnya ikut melanggengkan ketidakadilan. Media harus kembali ke fungsi amar ma’ruf nahi munkar: menyuarakan kebenaran, menegur kesalahan, dan menjaga amanah. Pena wartawan itu saksi di hadapan Allah, jangan sampai dijadikan alat dagang kepentingan duniawi,” ujarnya dengan nada tegas.
Pada akhirnya, wartawan bisa saja menjadi profesional sekaligus idealis. Namun garis pembeda tetap jelas: niat dasar, keberanian, dan nurani dalam menjaga amanah. Pers bukan sekadar pencatat peristiwa, melainkan pengawal kebenaran dan pengingat bagi siapa pun yang lalai menjalankan tugasnya. Publik berhak menuntut pers yang kritis, tajam, dan berani. Tanpa itu, rakyat hanya akan disuguhi panggung pencitraan, sementara suara mereka tenggelam di balik gemerlap seremoni.
Saat pena dijual demi amplop, jurnalis bukan lagi penjaga nurani, melainkan pedagang kata yang menukar kebenaran dengan recehan.
REDAKSI | Mantv7.id