Mantv7.id – Di tengah lantang nyanyian tentang “pemulihan ekonomi”, justru terkuak sebuah ironi: perusahaan tekstil raksasa PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) terlibat dalam kisah kelam kredit bermasalah bernilai triliunan. Nama Iwan Setiawan Lukminto, mantan Direktur Utama sekaligus Komisaris Utama Sritex, kini muncul sebagai tokoh utama dalam bab baru sejarah kelabu tata kelola negeri.
Dalam narasi hukum yang dibangun Kejaksaan Agung, dana pinjaman yang seyogianya menjadi penggerak produktivitas diduga dialihkan untuk kepentingan pribadi dan pembelian aset yang tak memberi nilai tambah, seperti properti di Jogja dan Solo. Sebuah pengkhianatan terhadap etika bisnis dan komitmen akad perbankan.
Berdasarkan penyidikan, Sritex menerima fasilitas pembiayaan dari Bank Jateng senilai Rp395 miliar, dari kelompok Himbara (BNI, BRI, LPEI) sebesar Rp2,5 triliun, serta dari Bank DKI dan Bank BJB sebesar Rp692 miliar. Ironisnya, dua bank milik daerah tersebut disebut memberikan pinjaman dengan mengabaikan prosedur dan prinsip kehati-hatian.
Dua mantan pejabat perbankan, Zainuddin Mappa dan Dicky Syahbandinata, kini menyandang status tersangka. Mereka diduga meloloskan pinjaman jumbo tanpa analisis risiko yang memadai, meskipun peringkat kredit perusahaan saat itu sudah berada pada tingkat mengkhawatirkan. Sebuah peringatan yang diabaikan, mungkin karena bisikan kepentingan.
Pertanyaan pun bergema di ruang publik: mungkinkah lembaga keuangan sebesar itu meloloskan pinjaman tanpa “bisikan” dari balik tirai kekuasaan? Ataukah ini mencerminkan adanya lubang dalam sistem yang dibiarkan terbuka dan dimanfaatkan oleh mereka yang paham cara bermain?
Pasal-pasal hukum telah dijatuhkan: Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor serta Pasal 55 KUHP menjadi dasar untuk menjerat para pelaku. Namun publik tidak hanya menanti vonis, melainkan pemulihan integritas dan keadilan yang hakiki: agar yang bersalah tak bisa lagi bersembunyi di balik setelan jas dan lobi mewah.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Humas YLPK Perari DPP Banten, Siarruddin, menyoroti fenomena ini sebagai bentuk “korupsi kelas tinggi yang membungkus diri dengan kemasan bisnis”. “Negara bukan sedang salah kelola, tapi diduga sedang dijarah secara sistematis oleh simbiosis konglomerat dan elit keuangan,” ujarnya dengan nada prihatin.
Dalam lanskap semacam ini, tak heran jika sebagian rakyat memilih diam. Mereka telah terlalu sering menyaksikan cerita yang sama: ketika institusi negara terluka, rakyatlah yang berdarah. Dan kerugian triliunan itu bukan sekadar hitungan akuntansi, tapi luka kolektif bagi bangsa yang berjuang lewat keringat dan pajak.
Kini, harapan tinggal satu: keadilan yang menyala, bukan basa-basi hukum yang padam oleh kekuasaan. Akankah proses ini terbuka dan menyeluruh? Ataukah berakhir seperti kisah-kisah lampau, di mana yang lemah ditekan dan yang kuat cukup menggandeng pengacara?
Di tengah semua ini, rakyat kembali diminta berkorban demi “pemulihan”, sementara mereka yang diduga menikmati hasil penyimpangan, masih tidur nyenyak di ranjang empuk kekuasaan setidaknya, hingga suara palu keadilan benar-benar membangunkan nurani.
(OIM)