Mantv7.id | Kabupaten Tangerang — Langkah cepat Camat Kresek Tatang Suryana dan Kapolsek Kresek AKP A. Suryadi dalam mengunjungi Pak Jana (51), penyandang disabilitas di Desa Kemuning, sempat menuai pujian. Foto dan video penyerahan bantuan sembako serta senyum di depan kamera beredar luas di media lokal. Tapi pertanyaannya: apakah empati pejabat hanya muncul ketika sorot kamera menyala? Tak sampai seratus meter dari rumah Pak Jana, berdiri bilik reot milik Ibu Ami, janda sepuh yang merawat dua anak disabilitas mental. Hidup tanpa kamar mandi, tanpa dapur, dan lebih menyakitkan tanpa perhatian dari pemerintah.
Masih dalam kampung yang sama, Pak Saram dan istrinya yang lansia bertahan hidup di gubuk tak layak huni. Namun sampai hari ini, belum tampak jejak langkah Camat atau aparat kecamatan di halaman mereka.
Pertanyaannya sederhana tapi penting: apakah harus viral dulu agar pejabat turun tangan? Apakah pendataan warga miskin ekstrem hanya berlaku untuk mereka yang sudah masuk berita?
Jika benar Kecamatan Kresek sedang melakukan pemetaan sosial, mengapa dua warga yang kondisinya bahkan lebih memprihatinkan justru tak tersentuh? Atau, jangan-jangan memang hanya satu rumah yang disasar karena sudah ramai duluan?
Warga tidak butuh pencitraan. Mereka butuh kehadiran nyata. Mereka tahu membedakan mana yang tulus peduli dan mana yang hanya ikut sorotan kamera.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
“Sedekah yang ditunggu kamera bukanlah amal yang bernilai di sisi Allah,” tegas Ustadz Ahmad Rustam. “Kalau gerak hanya karena viral, itu bukan kemanusiaan, itu riya. Camat harus paham, kepedulian sejati lahir dari iman, bukan dari pencitraan,” lanjutnya.

Foto Buyung, Humas DPD YLPK PERARI Banten. (Foto: IST. Mantv7.id)
Humas YLPK PERARI DPD Banten, Buyung E., juga menyoroti lemahnya pemantauan sosial di tingkat kecamatan. “Jangan tunggu rakyat berteriak atau media menyorot baru kalian bergerak. Fungsi pengawasan sosial itu melekat dan wajib dijalankan setiap hari,” tegasnya.
Faktanya, hingga kini Ibu Ami dan Pak Saram masih hidup dalam sepi. Tak ada kunjungan, tak ada bantuan, tak ada koordinasi lintas instansi yang menyentuh mereka. Ini bukan soal siapa yang sudah dibantu, tapi siapa yang terus dibiarkan.
Otoy, Sekjen LMPI (Laskar Merah Putih Indonesia) MAC Kresek, menyampaikan kritik keras: “Kalau baru gerak setelah viral, itu bukan bentuk kepedulian itu ketakutan terhadap opini publik. Jangan pura-pura baru tahu, padahal warga seperti Ibu Ami dan Pak Saram sudah lama hidup dalam penderitaan,” tegasnya.

Foto Otoy, Sekjen LMPI (Laskar Merah Putih Indonesia) MAC Kresek. (Foto: Mantv7.id)
“Sudah berkali-kali diberitakan, sudah berulang kali kami konfirmasi ke pihak kecamatan, tapi tak juga ada tindakan. Sampai kapan harus menunggu? Sampai rumah roboh? Sampai ada korban jiwa?” tambah Otoy.
Jika Camat Kresek bisa bergerak cepat untuk satu warga, mengapa dua lainnya masih menunggu? Di mana peran bagian kesejahteraan rakyat? Apa yang dilakukan bidang sosial? Seksi pemberdayaan masyarakat apakah benar-benar bekerja? Desa dan kecamatan seharusnya menjadi garda terdepan pengawasan sosial, bukan sekadar pelengkap administrasi.
Camat Tatang, YLPK PERARI dan Mantv7.id menitipkan dua nama lagi: Ibu Ami dan Pak Saram. Jangan tunggu kamera lagi. Rakyat bukan objek konten. Gerak cepat itu baik, tapi gerak adil jauh lebih mulia. Jangan biarkan empati berubah menjadi tontonan musiman.
Karena ketika kepercayaan rakyat terkikis oleh tebang pilih dalam pelayanan, di situlah makna kepemimpinan mulai runtuh.
REDAKSI | OIM