Mantv7.id | Kabupaten Tangerang — Tragedi di Cisoka adalah potret telanjang dari negara yang alpa dalam tanggung jawab. Bukan hanya karena sebuah pabrik terbakar, melainkan karena institusi-institusi negara seolah sepakat menutup mata ketika petani harus mengubur harapan di bawah lumpur berminyak. Rabu, 14 Mei 2025, sekitar pukul 14.30 WIB, api melahap pabrik pengolahan minyak jelantah di Pergudangan Surya Grand Cisoka. Tapi yang benar-benar hangus adalah hektaran sawah petani di Desa Bojongloa, yang kini menjelma menjadi tanah mati.
Api itu bukan akhir, melainkan awal dari malapetaka yang lebih luas. Dugaan kuat menyebut limbah minyak dari pabrik mengalir ke saluran irigasi warga. Air yang dulunya menjadi urat nadi pertanian, kini berubah jadi racun. Hitam, berminyak, dan menyengat. Bukan hanya tanah yang hancur, tapi juga martabat para petani yang selama ini menyangga pangan negeri.

SS gambar di video kanal youtube CDB.TV, limbah minyak dari pabrik mengalir ke saluran irigasi warga. Air yang dulunya menjadi urat nadi pertanian, kini berubah jadi racun. Hitam, berminyak, dan menyengat. (Foto: IST. Mantv7.id)
Kesedihan itu kian menggumpal saat Hari Raya Iduladha tiba. Di saat sebagian warga merayakan dengan gemuruh takbir dan aroma daging qurban, para petani Cisoka hanya mampu menatap sawah yang rusak dan air irigasi yang menghitam. Tak ada semangat menyembelih hewan, tak ada harapan berbagi kebahagiaan.
Alih-alih merayakan hari besar Islam dengan penuh syukur, mereka justru menyekop lumpur limbah dari lahan yang tak lagi bisa ditanami. Iduladha yang semestinya penuh harapan, berubah menjadi upacara berkabung kolektif atas kematian tanah, pencemaran air, dan hilangnya keadilan.
Nurdin, reporter CDB.TV yang melakukan liputan di lokasi, tak kuasa menyembunyikan emosinya. Sorot matanya redup, seolah ikut menanggung derita petani yang kehilangan segalanya karena sebuah kelalaian yang tak kunjung ditindak.
Pak Iwan, petani dari Kampung Cilaban RT 17/04, menggambarkan penderitaannya, “Biasanya kami bisa panen tiga kali setahun. Sekarang? Tanah kami tak bisa diolah. Apa yang harus kami makan?” Ini bukan sekadar keluhan, tapi jeritan kolektif dari penjaga lumbung pangan yang ditinggalkan negara dan ditertawakan sistem.
Yang lebih menyakitkan, hingga kini tak ada kejelasan soal ganti rugi. Sebagian warga mengaku diberi bantuan, namun mayoritas hanya mendapat janji. Pabrik bungkam. Pemerintah lambat. Dinas-dinas terkait seperti kehilangan suara. Padahal ini bukan kecelakaan biasa. Ini adalah skandal lingkungan yang mengancam keberlangsungan hidup ratusan keluarga.
DLHK Kabupaten Tangerang tampak menunggu aba-aba entah dari siapa. Dinas Pertanian diam, seolah bukan tanggung jawabnya. Dinas Perindustrian menghilang. Camat Cisoka hanya datang meninjau dan berpose. Ini bukan bencana lokal. Ini adalah kegagalan sistemik dalam manajemen pemerintahan!
Apakah Pemkab sadar bahwa tiap hektare sawah yang mati adalah ancaman bagi ketahanan pangan? Atau sudah terlalu nyaman duduk di kantor berpendingin udara, hingga lupa bahwa di Cisoka ada rakyat yang hidup dari cangkul dan air bersih? Mereka bukan angka statistik. Mereka manusia.
Harus ada audit terbuka dan independen. Apa penyebab kebakaran itu? Dugaan sementara menyebut korsleting, tapi bagaimana pengawasan dilakukan? Bagaimana limbah bisa bocor dan mencemari irigasi publik? Jika terbukti ada kelalaian atau pembiaran sistematis, maka ini layak diduga sebagai kejahatan lingkungan yang harus diproses secara hukum.
Siarruddin, Kabid Humas DPD YLPK PERARI Provinsi Banten menegaskan, “Audit lingkungan harus segera dilakukan! Kalau ditemukan kelalaian, baik dari manajemen pabrik maupun lemahnya pengawasan dinas, proses hukum harus dijalankan! Jangan lindungi pelaku perusak lingkungan! Petani bukan warga kelas dua!”

Foto Kabid Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang, menambahkan, “Pemerintah harus bertanggung jawab! Jika ini terjadi di kota, semua pihak pasti turun. Tapi karena ini desa, petani, Cisoka, semua jadi lambat! Kami tidak akan diam. Jika tidak ada tindakan cepat, kami akan ajak semua elemen turun ke lapangan!”
Sementara itu, YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) menyatakan siap mendampingi para korban limbah Cisoka. Baik dalam advokasi hukum, pengaduan publik, hingga gugatan lingkungan. Masyarakat yang terdampak bisa menghubungi posko pengaduan YLPK PERARI melalui kanal resmi yang tersedia. “Kami berdiri bersama para petani,” tegas Siarruddin.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Lalu di mana DPRD Kabupaten Tangerang? Tidakkah mereka merasa perlu membentuk panitia khusus investigasi? Atau mereka sedang menjaga kepentingan ekonomi para pemodal? Ketika rakyat meminta wakilnya bicara, justru suara mereka menghilang.
Bupati dan Wakil Bupati terpilih harus bergerak. Jika masih memiliki empati, turunlah langsung ke sawah-sawah yang hancur, bukan hanya membuat video empati kosong. Jangan biarkan janji kampanye tenggelam bersama limbah. Tegakkan keadilan. Audit total semua pabrik pengolahan limbah di Kabupaten Tangerang!
BPBD memang sudah memadamkan api. Tapi siapa yang bisa memadamkan rasa takut petani bahwa hidup mereka akan terus dimatikan oleh kelalaian yang tak pernah ditindak? Kematian panen adalah kematian ekonomi lokal. Ini bukan satu insiden. Ini refleksi dari sistem yang buruk!
Sudah waktunya semua yang bertanggung jawab dari manajemen pabrik, pengawas lingkungan, pejabat dinas, hingga aparat kecamatan diperiksa dan jika terbukti lalai, ditindak. Jangan tunggu rakyat marah. Ini bukan permintaan. Ini peringatan.
Karena jika tanah telah mati, dan air telah jadi racun, maka yang akan tumbuh hanyalah kemarahan. Dan kemarahan petani yang dipendam adalah bara yang lebih panas dari api Cisoka. Jika negara tak hadir hari ini, jangan salahkan jika rakyat memanggilnya dengan suara yang lebih nyaring besok.
Petani adalah penjaga kehidupan. Mengkhianati mereka bukan hanya mencabut sumber pangan, tapi mencabut harga diri bangsa. Tragedi Cisoka harus menjadi peringatan keras: bahwa pembangunan tanpa pengawasan hanya akan melahirkan kehancuran.
Jika suara petani tak didengar hari ini, maka jeritannya akan bergema di pemilu yang akan datang.
(OIM)