Mantv7.id | Kabupaten Tangerang — Di tengah lantunan doa dan cita-cita pendidikan moral bangsa, proyek Sanitasi Pesantren (Sanitren) tahun anggaran 2023 di Kabupaten Tangerang justru menorehkan catatan kelam. Banyak titik menyisakan ironi: toilet dibangun tanpa aliran air, toren kosong, instalasi listrik tak menyala, hingga papan proyek yang tak pernah muncul. Janji pelayanan publik berubah jadi jejak janji tanpa wujud. Dan yang lebih menyakitkan: semua pihak saling lepas tangan.
Kesra Setda yang diduga menjadi fasilitator proposal, menyodorkan Dinas Perkim sebagai pelaksana teknis. Perkim pun memilih menjawab normatif: “Kami hanya bantu.” Ketika wartawan mencoba meminta konfirmasi kepada Kemenag Kabupaten Tangerang, justru diblokir tanpa alasan. Ini bukan sekadar pengabaian informasi publik, tapi bentuk perendahan terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Lalu, di mana fungsi pengawasan internal pemerintah daerah? Apakah APIP hanya muncul ketika badai sudah lewat? Seharusnya proses kontrol sudah dilakukan sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pasca-proyek. Jika proyek sebesar Sanitren bisa meluncur tanpa checklist teknis dan audit faktual, maka sistem pengawasan internal patut dipertanyakan.
Fungsi pengawasan eksternal pun senyap. DPRD Kabupaten Tangerang seolah tak melihat adanya persoalan dari ratusan titik proyek yang bermasalah. Jika legislatif diam saat publik dirugikan, maka citra lembaga pengawas telah terdegradasi menjadi simbol yang hanya hadir saat sidang paripurna.

Kolase foto Proyek pembangunan sarana sanitasi pondok pesantren (SANITREN) di Pondok Pesantren Al Barokah, Desa Cireundeu, Kecamatan Solear, Kabupaten Tangerang. (Foto: Mantv.id)
Papan informasi proyek tak terlihat, pengawasan teknis nyaris nihil, dan tanggung jawab pelaksana tidak jelas. Ini bukan sekadar administrasi yang buruk, melainkan bentuk kelalaian sistemik yang berpotensi melanggar aturan tata kelola anggaran daerah. Padahal prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas seharusnya menjadi dasar pelaksanaan proyek publik.
Bappeda dan Inspektorat juga tak bisa hanya diam di balik dokumen. Di mana letak kajian manfaat? Di mana laporan monitoring dan evaluasi? Mengapa proyek yang menyangkut hajat hidup ribuan santri bisa lepas dari pengawasan? Apakah semua ini hanya menjadi angka dalam lembar LPJ tanpa verifikasi riil di lapangan?
Lebih jauh, bila ditemukan laporan fiktif, BAHP yang tak sesuai, atau SPJ tak berdasar, maka sudah masuk ranah dugaan tindak pidana pengelolaan keuangan negara. Proyek sanitasi yang seharusnya menyentuh aspek dasar kehidupan justru menjadi simbol pembiaran yang sangat menyakitkan.
Kerugian negara pun bukan lagi potensi, tapi ancaman nyata. Jika tiap titik proyek bernilai ratusan juta dan tersebar di lebih dari 700 lokasi, maka kerugian publik bisa menyentuh angka miliaran. Santri hanya mendapat bangunan yang tak berfungsi, sementara uang rakyat menguap tanpa arah.

Foto Kabid Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
Siarruddin, Kabid Humas YLPK PERARI, menyatakan, “Kami tidak akan membiarkan dana publik lenyap tanpa pertanggungjawaban. Ini bukan soal klarifikasi lagi, tapi soal keadilan. Semua pihak yang terlibat harus diaudit, dan jika perlu, diproses secara hukum.”
Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang, juga menegaskan, “Jangan jadikan pesantren sekadar alat proposal. Kami akan cek satu per satu proyek Sanitren. Jika terbukti mangkrak, kami viralkan. Jika ditemukan penyimpangan, kami bawa ke ranah hukum. Pejabat publik harus bekerja, bukan hanya pintar berdalih.”
Kini sorotan tertuju kepada Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Sudah saatnya dilakukan audit menyeluruh, reformasi birokrasi, dan pembenahan sistem pengawasan daerah. ASN dibayar dari uang rakyat, bukan untuk menyusun narasi pertanggungjawaban fiktif.
Kami menyerukan kepada seluruh wartawan lokal, LSM, ormas, dan aktivis di Kabupaten Tangerang untuk bersama-sama turun ke lapangan dan menginvestigasi proyek Sanitren di pesantren-pesantren lain. Dengan 700 titik yang tersebar, sangat mungkin terdapat pola pelaksanaan serupa yang luput dari perhatian publik.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) menyatakan siap mendampingi masyarakat dan pesantren yang merasa dirugikan. Aduan publik dibuka, dan segala bentuk pembiaran akan dikawal hingga tuntas.
Jika fungsi pengawasan, pendampingan, dan evaluasi tak berjalan, maka ini bukan sekadar proyek gagal, tapi kegagalan kolektif tata kelola daerah. DPRD harus bersuara, Inspektorat harus bekerja, dan aparat penegak hukum wajib bertindak.
Negara tidak runtuh karena kekurangan dana, tapi karena pembiaran terhadap pengkhianatan pelayanan publik. Dan selama para santri masih buang air di toilet rusak, saat itulah wajah pemerintah daerah patut tertunduk. Bukan karena rendah hati, tapi karena kehilangan muka di hadapan rakyat.
(OIM|Mantv7.id)