Mantv7.id | Jakarta — RKUHAP. Singkatan yang di atas kertas terdengar membosankan, tapi di baliknya tersimpan ancaman yang bisa membuat siapa pun aktivis, wartawan, bahkan warga biasaLW4 berpikir dua kali sebelum bicara. Seharusnya, revisi KUHAP ini menjadi langkah besar. Menambal lubang-lubang lama seperti salah tangkap, penyiksaan, penjebakan, hingga kasus yang digantung tanpa ujung. Harapannya, hak saksi, korban, dan tersangka lebih terlindungi. Begitu idealnya. Nyatanya, draf yang kini digodok DPR dan Pemerintah justru seperti memasang pagar listrik di sekitar warga. Kritik yang keras, laporan yang tajam, atau sekadar komentar miring di media sosial bisa dianggap gangguan. Celakanya, penangkapan dan penahanan tidak lagi butuh pengawasan ketat pengadilan. Cukup klaim “mendesak” dari penyidik, selesai urusan.
Rabu, 18 Juni 2025, Komisi III DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Katanya, sudah ada 50 kali pertemuan dengan masyarakat sipil. Terdengar hebat, sampai Koalisi Masyarakat Sipil buka suara: mereka cuma diundang sekali, 27 Mei 2025. Hanya bicara, tanpa kelanjutan. Tak ada penjelasan, tak ada pembahasan lanjutan. Seperti ngobrol di tembok.
Lalu, Kamis, 23 Juni 2025, Pemerintah buru-buru menandatangani Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Publik pun geleng-geleng kepala. Seolah-olah “partisipasi” itu cukup asal ada foto bersama di ruang rapat.
DPR dan Pemerintah beralasan RKUHAP harus selesai sebelum KUHP baru berlaku 1 Januari 2026. Dalihnya: hukum materiil perlu hukum formil. Betul, tapi tidak ada yang bilang harus diburu-buru seperti lomba lari. Apalagi sejarah sudah mengajarkan pembahasan kilat sering menghasilkan undang-undang tambal sulam, penuh celah.
11 Bom Waktu di Dalam Draf RKUHAP
1. Polri superpower: Jadi penyidik utama semua tindak pidana, kecuali untuk KPK, Kejaksaan, dan TNI. Aturan teknisnya akan diatur internal Polri sendiri. (Pasal 6-8 jo 20)
2. TNI semua matra boleh menyidik tindak pidana umum: Celah militer masuk ranah sipil. (Pasal 7(5), 87(4), 92(4))
3. Penangkapan hingga 7 hari: Lebih buruk dari KUHAP lama (1×24 jam).
4. Penahanan tanpa izin pengadilan: Cukup klaim “mendesak”, tafsir subjektif penyidik.
5. Alasan penahanan dipermudah: Tak kooperatif atau informasi dianggap tak sesuai fakta langsung bisa ditahan. (Pasal 93(5))
6. Penggeledahan tanpa izin pengadilan: Lagi-lagi cukup klaim “mendesak”. (Pasal 105 jo 106)
7. Penyitaan tanpa izin pengadilan: Potensi penyalahgunaan besar. (Pasal 112(3))
8. Pengaduan masyarakat bisa diabaikan: Hanya bisa protes ke atasan penyidik setelah 14 hari, tetap di lingkup internal kepolisian.
9. Bantuan hukum tidak untuk semua: Kelompok rentan terabaikan.
10. Hak memilih pengacara sendiri dihapus: Penyidik yang tunjuk, rawan “pengacara formalitas”. (Pasal 145(1))
11. Penyadapan sewenang-wenang: Tanpa izin pengadilan. (Pasal 124)
Kita sudah lihat polanya: revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU IKN, UU TNI, sampai UU Cipta Kerja. Cepat, rapat, dan minim ruang koreksi publik.
Kalau draf ini disahkan, bukan cuma tersangka yang akan kena imbas. Kontrol sosial yang selama ini menjadi rem penyalahgunaan kekuasaan akan lumpuh. Bayangkan: warga mengkritik polisi di media sosial, dianggap mengganggu penyidikan. Aktivis mengungkap dugaan penyiksaan, tiba-tiba statusnya berubah jadi tersangka. Wartawan menulis laporan investigasi, dituding menyebar informasi tak sesuai versi resmi.
Efeknya? Masyarakat belajar diam. Media menahan liputan. LSM berpikir ulang untuk buka data. Advokat dibatasi manuvernya. Sementara mekanisme pengaduan hanya diarahkan ke atasan penyidik pintu yang lebih sering terkunci rapat ketimbang terbuka.
Koalisi Masyarakat Sipil menemukan 11 poin bermasalah. Dari penangkapan yang bisa sampai tujuh hari, penggeledahan tanpa izin pengadilan, sampai penyadapan sewenang-wenang. Satu pasal saja bisa jadi masalah besar, apalagi sebelas.

Logo Hefi Sanjaya & Partners. (Foto:Mantv7.id)
Seperti kata aktivis hukum Donny Putra T., S.H dari Law Firm Hefi Sanjaya and Partners: “Bukan hanya ruang kritik yang dipersempit, tapi keberanian rakyat untuk mengawasi aparat bisa hilang. Ini bahaya bagi demokrasi.”

Gambar Logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri). (Foto: Mantv7.id)
Dari sisi perlindungan konsumen, Buyung E., S.H, Humas YLPK Perari DPD Banten, menilai ancamannya nyata: “Kalau aparat terlalu kuat tanpa kontrol, yang pertama jadi korban adalah rakyat kecil. Konsumen saja bisa rentan, apalagi yang tak paham hukum.”

Foto Ustad Ahmad Rustam aktivis kerohanian dan sosial Kabupaten Tangerang. (Foto: Mantv7.id)
Sementara aktivis kerohanian Ustad Ahmad Rustam melihatnya dari sisi moral:
“Kalau rakyat takut bicara karena takut ditangkap, kita akan membesarkan generasi yang diam melihat ketidakadilan. Itu bukan budaya bangsa kita.”
Hukum sejatinya melindungi rakyat, bukan membungkamnya. RKUHAP seharusnya dibangun dari dialog, bukan ketergesaan, karena negara yang kuat adalah negara yang memberi ruang warganya untuk bersuara.
REDAKSI | Mantv7.id