Mantv7.id | Balaraja — Di tengah gemuruh pasar tradisional dan hiruk-pikuk pedagang, tersimpan ironi mendalam di sudut Kabupaten Tangerang. Pasar Sentiong Balaraja bukan lagi sekadar tempat transaksi ekonomi rakyat, tetapi telah menjelma menjadi panggung drama gelap tata kelola publik retribusi parkir tak jelas, drainase jadi beban, dan lapak liar menjelma kerajaan liar tanpa hukum. Ke mana arah uang rakyat selama ini mengalir?
Berdasarkan Perda No. 4 Tahun 2011, hingga Perbup No. 39 Tahun 2022, segala bentuk retribusi parkir di tepi jalan umum seharusnya memiliki prosedur, tarif resmi, dan transparansi pelaporan. Namun kenyataan di lapangan justru mengungkap praktik liar di sekitar Pasar Sentiong yang diduga tidak menyetorkan sepeser pun ke kas daerah. Siapa yang bermain? Siapa yang diam?
Dugaan keterlibatan oknum dalam pengelolaan parkir dan lapak liar tak bisa lagi disapu di bawah karpet. Petugas parkir tanpa karcis resmi, pungutan liar tanpa tanda bukti, serta uang retribusi yang “menguap” tanpa arah mencederai akuntabilitas anggaran. Dishub diam, Satpol PP membisu, dan Inspektorat tak terdengar gaungnya seolah ada konsensus diam terhadap kebocoran sistemik ini.

Kolase foto kondisi lapak liar pasar sentiong. (Foto: Mantv7.id)
Di sisi lain, fungsi pengawasan internal termasuk pendampingan oleh satuan kerja, pelaksanaan monitoring berkala, dan pengawasan teknis dari inspektorat daerah terbukti lumpuh. Prosedur audit, evaluasi, dan pemantauan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jika sistemnya sehat, lalu mengapa PAD dari seluruh pasar hanya Rp400 juta setahun, dan kontribusi Pasar Sentiong tak tampak?
Dugaan praktik kotor justru membuncah di Jalan Sentiong, Desa Tobat. Warga membenarkan adanya pungutan hingga Rp2 juta per titik lapak, Rp500 ribu per bulan, dan Rp10 ribu per hari. Uang yang tidak tercatat secara resmi namun tetap mengalir setiap hari. Dugaan keterlibatan oknum desa menyeruak, menambah aroma busuk tata kelola pemerintahan lokal.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
“Sudah bertahun-tahun lapak liar dibiarkan, parkir tanpa karcis jadi hal biasa. Ini bukan kelalaian, tapi pembiaran sistemik,” ujar Ustad Ahmad Rustam, aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang. Ia juga menambahkan bahwa Pemkab seolah mengunci mulutnya sendiri, tak peduli pada desakan masyarakat yang setiap hari terjebak macet dan bau pasar liar.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Buyung, Kabid Humas DPD YLPK PERARI Provinsi Banten menyatakan dengan lantang, “Kebocoran retribusi parkir dan pemanfaatan jalan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Ini bukan hanya soal angka kecil, ini soal mentalitas bobrok dan sistem yang cacat total. Kami akan kejar hingga ke meja hukum jika perlu.”
Dalam situasi ini, peran Camat Balaraja dan Kepala Desa Tobat dipertanyakan. Mengapa tidak ada penertiban sejak awal? Mengapa baru muncul setelah berita menguak skema pungli? Dugaan pengabaian ini harus dikaji oleh lembaga pengawasan eksternal dan aparat penegak hukum. Rakyat tidak butuh pencitraan, mereka butuh tindakan nyata.
DPRD Kabupaten Tangerang tak boleh terus membisu. Fungsi representasi rakyat harus dihidupkan dengan suara tegas dan sikap politik yang berpihak pada warga. Tanpa dorongan dari legislatif, praktik pungli akan terus hidup subur di atas penderitaan rakyat.
Penurunan kualitas jalan, sampah yang menumpuk akibat aktivitas pasar, dan kemacetan akibat lapak liar menunjukkan kerugian nyata bagi negara dan masyarakat. Ini bukan hanya soal estetika kota, ini soal pemborosan APBD untuk menambal kerusakan yang seharusnya tak perlu terjadi.
Pendampingan pelaksanaan proyek, pengawasan berkala oleh Dishub, serta monitoring teknis oleh APIP dan Inspektorat seperti hanya menjadi formalitas tanpa taring. Ketika fungsi deteksi dini, kajian rutin, dan check list mingguan tidak dilakukan, maka kebocoran menjadi keniscayaan.
Bupati dan Wakil Bupati terpilih harus membedah habis carut-marut ini. Tata kelola yang buruk, fungsi audit yang melempem, dan pengawasan yang tak berjalan hanya akan memperlebar jarak antara pemerintah dan masyarakat. Uang rakyat tidak boleh terus-menerus dibakar hanya untuk memuaskan selera rakus segelintir pihak.
Sebagai penutup, masalah ini bukan hanya tentang satu pasar atau satu jalan ini adalah gambaran rusaknya sistem dari hulu ke hilir. Rakyat berhak atas transparansi, keadilan, dan pelayanan publik yang bermartabat. Jika hukum tak lagi tajam ke atas, maka rakyat akan bersuara.
Suara rakyat, adalah suara yang tak bisa dibungkam dengan apapun.
(OIM)