Mantv7.id | Kabupaten Tangerang — Seolah tak pernah terjadi apa-apa, PT Marta Berdikari Nusantara (MBN) kini membuka lowongan kerja baru. Padahal, kasus dugaan pelanggaran ketenagakerjaan di perusahaan ini masih menggantung tanpa penyelesaian. Para buruh lama yang merasa dirugikan pun geleng-geleng kepala. “Masalah kami saja belum selesai, kok sudah santai buka lowongan. Kayak nggak ada dosa saja,” ujar seorang pekerja lama yang meminta namanya disamarkan. Nada kesalnya jelas terdengar. Dalam iklan yang tersebar, MBN mencari pekerja untuk posisi Stockfit, Pengawas, Tempel, Buffing, Press, dan Sementing/Lem. Syaratnya pun standar, mulai dari CV, SKCK, hingga ijazah terakhir. Namun pertanyaan besarnya, apakah nasib calon pekerja baru ini akan lebih baik dari buruh lama yang sampai hari ini masih menunggu keadilan?
Fakta sebelumnya sudah jelas: upah harian hanya Rp90.000–Rp120.000, tanpa kontrak kerja, tanpa BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Jika pola lama tetap berlanjut, maka lowongan baru ini hanya akan menambah daftar panjang buruh yang bernasib sama.

Kolase foto Puluhan Karyawan PT MBN di Tigaraksa Dilaporkan Alami Kesurupan Massal, Mayoritas Perempuan. (Foto: Mantv7.id)
Yang membuat publik semakin geram, Disnaker Kabupaten Tangerang tak kunjung bertindak. Bidang Hubungan Industrial, Pengawasan Ketenagakerjaan, hingga Perlindungan dan Jaminan Sosial masih belum terlihat mengambil langkah konkret.
Di tengah sunyinya pejabat dan serikat buruh, suara kritis hanya datang dari segelintir aktivis. Ustadz Ahmad Rustam aktivis kerohanian dan sosial, misalnya, kembali menegaskan sikapnya. “Diamnya pejabat adalah pengkhianatan pada amanah jabatan. Negara tidak boleh kalah dari pengusaha nakal,” tegasnya.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
Camat Tigaraksa dan kepala desa setempat pun tak bersuara. Tidak ada sidak, tidak ada klarifikasi. Diam mereka seolah menjadi tanda setuju, padahal ini terjadi di wilayah mereka sendiri.
Dinas Kesehatan juga belum mengambil langkah. Padahal, kasus kesurupan massal di lokasi kerja pernah terjadi, yang bisa menjadi indikator tekanan mental akibat lingkungan kerja yang tidak sehat. Namun, hingga kini, Seksi Kesehatan Kerja pun tak terdengar kabarnya.

Foto Kabid Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
Siarruddid, Kabid Humas YLPK PERARI DPD Banten, juga menyampaikan sikap keras. “Jangan biarkan perusahaan seenaknya merekrut pekerja baru tanpa menyelesaikan masalah lama. Disnaker harus segera turun, kalau perlu kami akan kirim laporan resmi ke Ombudsman. Ini soal martabat buruh, bukan hanya sekadar angka-angka di slip gaji,” ungkapnya.
Yang juga disayangkan, serikat buruh tak kunjung bersuara. Tak ada pernyataan sikap, tak ada aksi solidaritas. Entah tak tahu, tak peduli, atau sengaja memilih diam, publik bertanya-tanya.
Nada serupa juga datang dari praktisi hukum Dicko Gugus Tri Antoro Putra, S.H. yang menilai kasus ini harus segera ditindak. “Ini bukan hanya masalah ketenagakerjaan, tapi soal penegakan hukum. Kalau ada unsur pelanggaran, apalagi terkait jaminan sosial dan upah di bawah UMK, maka bisa masuk ranah pidana. Jangan sampai pejabat tutup mata, karena pembiaran juga bisa dipersoalkan secara hukum,” ujarnya kepada Mantv7.id.

Logo Hefi Sanjaya & Partners. (Foto:Mantv7.id)
Pertanyaannya sederhana namun menohok: apa guna Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS jika buruh terus dibiarkan bekerja tanpa perlindungan?

Gambar hak-hak pekerja sesuai dengan undang-undang yang ada. (Foto: IST. Mantv7.id)
Redaksi Mantv7.id kembali menyerukan agar Disnaker segera turun tangan, BPJS melakukan audit, dan pemerintah daerah tidak lepas tangan. Inspektorat hingga Ombudsman diminta proaktif, tidak hanya menunggu laporan.
Jika diam ini terus berlanjut, setiap lowongan baru hanya akan menjadi jebakan bagi korban-korban berikutnya. Sebab, diam dalam ketidakadilan bukanlah netralitas, melainkan bagian dari kejahatan yang terselubung.
REDAKSI | OIM