Mantv7.id | Tangerang, 11 Juli 2025 — Bagi sebagian warga Balaraja, kabar bahwa kantor kelurahannya direhabilitasi mungkin terdengar baik. Tapi ketika nilai proyeknya mencapai Rp580 juta lebih, dan pelaksanaannya amburadul di lapangan, wajar jika kecurigaan muncul: ini proyek pelayanan atau proyek penyerapan anggaran? Rehabilitasi Kantor Kelurahan Balaraja yang dikerjakan oleh CV Putra Rajeg Mandiri kini tengah jadi sorotan. Pekerja serampangan, pengawas lapangan tak tampak, pekerja pun bekerja tanpa alat pelindung diri (APD). Debu dan puing-puing bertebaran di area pelayanan tanpa pembatas, seolah-olah kantor publik itu milik pribadi. Dan lebih menyedihkan lagi: semua pihak yang seharusnya mengawasi, diam.
Buyung, aktivis dari YLPK PERARI, angkat suara. Ia mempertanyakan, untuk siapa proyek ini sebenarnya?

Foto Buyung, Humas DPD YLPK PERARI Banten. (Foto: IST. Mantv7.id)
“Nilai proyek ini setengah miliar. Tapi kenyataannya, pelaksanaan seperti proyek kecil-kecilan. Bangunan lama masih layak, ruang belakang bahkan belum dimaksimalkan. Kenapa direhab sekarang? Untuk pelayanan, atau cuma untuk formalitas anggaran?” katanya.
Aminudin, tokoh muda setempat, bahkan menyebut proyek ini jauh dari kebutuhan masyarakat.
“Jalan lingkungan masih banyak yang rusak, saluran air mampet, tapi malah gedung kantor yang dirombak. Buat apa? Kalau pelayanan tetap lamban, warga tetap ditolak dengan alasan ‘sistem error’,” ujarnya sambil tertawa getir.
Masalah tak berhenti di situ. Pengawasan teknis dari Dinas Tata Ruang dan Bangunan (DTRB) nyaris tak kelihatan. Bidang, seksi, bahkan staf lapangan tak pernah terlihat mengecek atau sekadar hadir di lokasi.
Camat sebagai pengawas administratif juga bungkam, padahal tugasnya jelas: membina dan mengawasi kegiatan di kelurahan. Tapi yang tampak justru pembiaran yang dikhawatirkan bisa berubah menjadi pembenaran.
“Yang lebih parah, tidak ada pembatas kerja, tidak ada jalur aman. Warga yang datang bisa langsung lihat puing-puing, tukang bekerja asal-asalan, dan debu masuk sampai ke meja pelayanan. Ini kantor pelayanan atau proyek swasta?” sindir Buyung.
Warga juga mulai bertanya-tanya: apakah kontraktor dengan nilai proyek ratusan juta memang bekerja seperti ini? Di mana standar kualifikasi dan profesionalitasnya? Bukankah proyek yang bernilai besar, seharusnya pula dikerjakan oleh pelaksana yang paham etika pekerjaan publik?
Dan semua ini terjadi di depan mata banyak pihak, tapi nyaris tak ada yang bergerak. Tidak dari dinas, tidak dari kecamatan, tidak pula dari pemerintahan kelurahan. Padahal semuanya punya tupoksi yang jelas: mengawasi, membina, dan menjamin proyek berjalan sesuai aturan dan manfaat.
Kondisi ini jelas menyimpan tanda tanya besar. Di satu sisi, APBD Kabupaten Tangerang 2025 seolah digunakan. Tapi di sisi lain, manfaatnya ke warga tak terasa. Proyek dijalankan diam-diam, tanpa transparansi, tanpa pengawasan yang utuh, dan tanpa kejelasan arah prioritas pembangunan.

Logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
YLPK PERARI bersama masyarakat kini menuntut audit terbuka. Dari Inspektorat Daerah, DPRD, hingga DTRB diminta turun langsung ke lapangan. Bukan untuk basa-basi, tapi untuk mengecek apakah proyek ini benar-benar layak, atau sekadar penghabisan anggaran menjelang akhir tahun.
“Jangan biarkan proyek pelayanan jadi proyek pencitraan. Kalau memang untuk rakyat, buktikan dengan keterbukaan, manfaat, dan pelayanan yang lebih baik. Kalau hanya untuk penyerapan dan bancakan, rakyat tidak butuh itu,” tegas Buyung.
Pembangunan tak diukur dari nilai proyeknya, tapi dari seberapa besar rakyat merasakannya. Jika pengawasan lumpuh, tupoksi diabaikan, dan proyek dijalankan seperti milik sendiri, maka uang rakyat bukan hanya disia-siakan tapi sedang dibohongi.
REDAKSI | OIM