Mantv7.id – Kabupaten Tangerang | Dugaan kelalaian di Tigaraksa jadi bukti bahwa pelayanan publik kita sedang lumpuh rasa. Kabel menjuntai. Listrik bergetar di atas genteng rumah warga. Di Jl. Syech Mubarok RT 05 RW 05, Tigaraksa, nyawa masyarakat seperti sedang bermain tebak-tebakan maut. Dugaan kelalaian PLN bukan lagi perkara sepele ni adalah permainan berbahaya, di mana kesalahan satu kabel bisa mengirim satu keluarga ke pemakaman.
Pertanyaannya sederhana: apakah BUMN sebesar PLN yang mencetak laba Rp22 triliun per tahun tidak mampu memperbaiki kabel usang? Ataukah keuntungan itu hanya cukup untuk menggaji bos-bosnya yang lihai bicara, namun lumpuh rasa terhadap derita di bawah tiang listrik yang mereka pasang?
Warga mengaku sudah menyampaikan laporan. Media lokal pun sudah memberitakan. Tapi seperti biasa, laporan rakyat masuk ke lubang hitam sistem. Yang cepat hanya tagihan listrik. Yang lambat? Tindakan. Yang paling lambat? Empati.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Hari ini, dua perwakilan dari YLPK PERARI Siaaruddin dan Dedi Kurniawan menyambangi kantor PLN Cikupa. Mereka tak minta jamuan, hanya ingin suara rakyat didengar. Tapi yang terjadi justru pameran keangkuhan: pegawai berlalu-lalang dengan seragam kebesaran, tanpa senyum, tanpa sapa. Warga bukan konsumen, mereka diperlakukan seperti pengganggu rutinitas BUMN suci itu.
Surat resmi baru direspons setelah lebih dari 30 menit. Dan solusi? Lucunya, cuma diajak ngobrol di parkiran oleh satu petugas sambil menunggu “PO perbaikan.” Ini BUMN, bukan warung kelontong. Tapi rakyat dilayani seperti peminta-minta listrik.
Ustad Ahmad Rustam, aktivis Kerohanian Kabupaten Tangerang, menyindir keras: “Kalau laba sudah mengalahkan akhlak, dan kesombongan menggantikan pelayanan, maka itu bukan BUMN itu bencana negara yang dibungkus seragam.” Ia menegaskan bahwa dalam Islam, penguasa yang lalai akan diminta pertanggungjawaban bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
PLN seharusnya tunduk pada Pasal 44 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan: setiap kecelakaan akibat listrik adalah tanggung jawab penyelenggara. Jika ada korban, artinya negara melalui PLN telah gagal melindungi warganya dari infrastruktur yang mereka sendiri pasang.

Foto surat YLPK PERARI diterima oleh Security PLN. (Foto: Mantv7.id)
Jangan abaikan juga Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain mewajibkan pelaku mengganti kerugian. Dan berdasarkan UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, keselamatan konsumen adalah harga mati bukan bahan rundingan birokrasi.
Namun, aparat penegak hukum seakan terpaku. Polisi, kejaksaan, hingga pengawas BUMN tampak lebih sibuk mengawal seminar dan seremoni. Dugaan kelalaian PLN ini seharusnya menjadi pintu masuk audit hukum dan moral. Jangan tunggu kabel terbakar atau nyawa melayang baru negara turun tangan.
Bupati dan Wakil Bupati Tangerang tengah diuji komitmennya dalam melindungi masyarakat. Inilah saat untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan tak berhenti di masa kampanye, melainkan hadir nyata saat warga menghadapi persoalan serius. Jangan sampai ada warga yang merasa lebih aman tidur di luar rumah karena khawatir akan bahaya listrik di tempat tinggalnya sendiri.
Dinas PUPR, Dishub, hingga BPBD punya tanggung jawab koordinatif. Tapi semua diam. Mungkin karena yang tergantung di atas genteng itu ‘hanya kabel’, bukan baliho bergambar pejabat. Sekali lagi, yang menjuntai bukan hanya kabel, tapi juga kepekaan birokrasi.
BUMN seperti PLN seharusnya jadi simbol kekuatan negara. Tapi jika simbol itu berubah menjadi alat pembiaran dan pengabaian, maka ia bukan lagi penopang rakyat ia adalah institusi raksasa yang kehilangan empatinya. Kenyang uang, tapi kelaparan moral.
Kami tutup dengan satu pertanyaan tajam: jika negara tak mampu memperbaiki kabel listrik, lalu siapa yang akan memperbaiki logika pelayanan publik? Jangan biarkan rakyat hanya bisa berdoa agar kabel tak menyengat, padahal negara seharusnya bertindak. Jika BUMN adalah wajah negara, maka wajah itu kini kusam dan mulai menakutkan.
(OIM)