Mantv7.id – Banten kembali menjadi sorotan setelah Kapolda Banten, Irjen Pol Suyudi Ario Seto, mengeluarkan peringatan keras terhadap praktik dugaan premanisme berkedok penagihan utang oleh oknum debt collector. Peringatan ini mencuat sebagai respons atas banyaknya keluhan masyarakat yang resah akibat intimidasi, kekerasan verbal hingga fisik, yang diduga dilakukan oleh kelompok penagih utang liar.
Siapa yang bertanggung jawab atas maraknya dugaan aksi brutal tersebut? Mengapa fenomena ini terus berlangsung tanpa pengawasan ketat dari instansi terkait? Dimana peran aktif Dinas Koperasi, Dinas Perdagangan, hingga OJK dalam menertibkan lembaga keuangan yang menggandeng debt collector liar? Pertanyaan ini mengendap dalam benak warga yang telah lama menjadi korban.
Dugaan lemahnya pengawasan dari Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Banten menjadi sorotan utama. Jika fungsi pembinaan dan pengawasan koperasi berjalan sesuai perintah UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, seharusnya tidak ada celah bagi praktik penyalahgunaan sistem penagihan yang merugikan masyarakat.
Dinas Sosial dan Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak pun turut disorot, sebab tak sedikit korban intimidasi debt collector berasal dari kelompok rentan: ibu rumah tangga, lansia, hingga remaja. Mengapa instansi-instansi ini tampak diam saat warga yang dilindungi secara moral dan hukum, justru dihantui ketakutan setiap hari?
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan dalam Pasal 33 bahwa “setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.” Lalu, siapa yang menjamin hak tersebut jika aparat dan pemerintah daerah seolah abai?
Sementara itu, aparat penegak hukum diminta tidak sekadar berhenti pada pernyataan keras. Kapolda Banten memang telah menyuarakan peringatan, tetapi apakah Polres dan Polsek setempat telah menindaklanjuti instruksi ini secara nyata di lapangan? Atau, justru praktik “main mata” masih menjalar di balik seragam?

Foto aktivis kerohanian asal Balaraja, yang juga sebagai Ketua Divisi Keagamaan YLPK-PERARI DPD Banten. (Foto: Mantv7.id)
Dalam sudut pandang keagamaan, Ustad Ahmad Rustam, Ketua Keagamaan YLPK PERARI DPD Banten, menegaskan: “Barang siapa yang menzalimi orang lain, baik dengan tangan maupun dengan lisan, maka tunggulah balasan dari Allah.” Beliau mengutip QS. An-Nisa ayat 135 dan hadis Nabi SAW: “Takutlah kalian pada doa orang yang dizalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dan Allah.”.
Maka pertanyaannya: Apakah para debt collector yang menggunakan ancaman dan kekerasan sadar bahwa mereka sedang melanggar hukum dan menantang kemurkaan Tuhan? Dan apakah institusi yang membiarkan praktik ini berlangsung ikut memikul beban moral di hadapan hukum dan keadilan sosial?

Gambar Ilustrasi Penarikan Kendaraan oleh Debt Collector. (Foto: IST. Mantv7.id)
Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas lembaga keuangan wajib mengusut tuntas perusahaan pembiayaan atau koperasi yang menggunakan jasa penagih ilegal. Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, Pasal 6 mengamanatkan perlindungan konsumen sebagai fungsi utama lembaga tersebut. Maka, mengapa OJK terkesan hanya bertindak saat viral?
Kondisi ini mengindikasikan dugaan adanya celah hukum dan lemahnya tindakan preventif yang berkelanjutan. Masyarakat awam tidak lagi membutuhkan janji manis atau pernyataan kosong dari elite. Mereka butuh tindakan konkret: penertiban, penegakan hukum, dan jaminan rasa aman dari negara.
Seluruh kepala daerah di Banten, khususnya para camat dan lurah, wajib menanggapi situasi ini secara serius. Jangan biarkan rakyat menjadi sapi perah dari sistem kredit yang disusupi pelaku kekerasan. Kebijakan perlindungan konsumen harus diturunkan hingga level RT dan RW.
Sudah saatnya sinergi antarlembaga mulai dari Polda, OJK, Pemprov, hingga lembaga dakwah membentuk satuan tugas pemberantasan penagihan utang ilegal. Masyarakat harus dilibatkan sebagai pelapor, saksi, bahkan pengawal moral dalam upaya pemulihan keadilan sosial yang telah tercabik.
Kritik ini bukan sekadar luapan emosi, tapi seruan perubahan. Sebab, jika hukum terus dikangkangi dan aparat dibiarkan tidur dalam kelengahan, maka masyarakat sendiri yang akan mengadili. Mari kita rawat hukum dan moralitas sebagai pondasi negeri.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11).
(Oim)