Mantv7.id | Tangerang – Ketika pejabat negara sibuk rapat, rakyat disergap. Dugaan intimidasi, perampasan, dan pemalsuan dokumen oleh PT. Bintang Sinergi Nusantara (BSN) terhadap Rezi, warga Tigaraksa, bukan sekadar kredit macet. Ini sudah masuk wilayah pelanggaran hukum dan pembiaran aparat. Pada 4 April 2025, Rezi dicegat empat pria tak berseragam, dipaksa ke kantor PT. BSN di Kelapa Dua, lalu motornya dirampas tanpa dokumen resmi. Ia juga diminta membayar Rp1,2 juta tanpa kwitansi. Dua hari kemudian, motor hilang. Muncul dokumen BASTK yang diduga mengandung tanda tangan palsu.

Foto Kabid Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
Jika benar, ini pidana, bukan prosedural. YLPK PERARI menyebut ini premanisme korporasi. Kabid Humas DPP, Siarruddin, menyatakan, “Polisi harus bertindak, OJK jangan tidur, Kementerian Koperasi dan Pemkab Tangerang harus bertindak tegas!”
Lucunya, FIF Cikupa mengaku tak bekerja sama dengan PT. BSN, tapi motor korban sudah ada di gudang mereka. Parahnya lagi, status motor disebut ‘repost’ alias siap lelang. Jika benar dilelang tanpa proses hukum, itu bukan penagihan melainkan perampasan yang dilegalkan.
PT. BSN bebas beroperasi tanpa pengawasan ketat. Di mana OJK? Di mana Satgas Waspada Investasi? Bagaimana mungkin penagih tanpa surat tugas sah bisa menyergap warga? Jika ini dibiarkan, publik berhak hilang kepercayaan.
FIF Cikupa juga harus menjawab: kenapa terima motor tanpa dokumen sah? Jika tahu asal-usulnya bermasalah, ini patut didalami sebagai potensi persekongkolan. Sementara itu, Pemkab Tangerang diam, seolah warganya bukan tanggung jawabnya.
Kepolisian dari Polsek hingga Mabes jangan hanya terima laporan. Bongkar jaringan penagihan ilegal ini. Bentuk Satgas khusus jika perlu. Rakyat tak boleh terus hidup dalam ancaman di jalan sendiri. Hukum harus berpihak pada yang benar, bukan yang kuat.
Rezi masih bisa bicara. Tapi bagaimana nasib mereka yang tak sempat? Mahkamah Konstitusi sudah tegas: penarikan kendaraan wajib lewat pengadilan. Di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya ketakutan tumbuh, hukum melempem.
DPRD Kabupaten dan Provinsi hingga Komisi III DPR RI didesak turun. Wakil rakyat tak bisa terus foto-foto kunjungan kerja, sementara rakyat diintimidasi. Diam mereka adalah pengkhianatan terhadap amanah.
Inspektorat, Dinas Koperasi, Satpol PP, semua harus turun. Jika pelaku dibiarkan, dan korban terus tertib, maka negara sedang membalik akal sehat. Ini bukan soal cicilan, ini soal hak hidup aman di tanah sendiri.
Kasus serupa terjadi di banyak daerah. Polanya nyaris sama: penyergapan, tekanan, perampasan, pemalsuan. Dan hasil akhirnya pun seragam: aparat pasif, pengawas diam, rakyat berjuang sendiri.
Kami, media dan masyarakat sipil, menyerukan pembentukan Tim Khusus Nasional untuk memberantas praktik penagihan ilegal. Ini bukan provokasi ini perjuangan menegakkan keadilan. Jangan tunggu korban jiwa dulu baru bertindak.
Jika semua tetap diam OJK, Polri, leasing, DPR, hingga pemda maka kalian bagian dari masalah. Dari diamnya pejabat tumbuh kejahatan, dan dari takutnya rakyat lahir keberanian yang tak bisa dibendung.
Selama masih ada yang berani bertanya, masih ada yang menulis tanpa takut, dan masih ada rakyat yang menolak tunduk, keadilan akan tetap punya harapan. Negara ini tak boleh kalah oleh ketakutan, apalagi oleh premanisme yang dilegalkan.
(OIM)