Mantv7.id | Nasional — Rakyat membayar pajak, negara membayar gaji. Tapi apa jadinya ketika para ASN, PNS, dan pejabat demokrasi justru memutar wajah dari tugas utamanya: mengawasi, memonitor, mengecek, mengoreksi, dan mengendalikan setiap detail pelaksanaan kerja yang seharusnya menjadi nadi pelayanan publik? Hasilnya: kelalaian massal yang menyuburkan peluang kerugian negara, membuat birokrasi tak ubahnya ladang abu-abu tempat korupsi tumbuh dan akuntabilitas dilucuti. Laporan resmi disampaikan oleh aktivis antikorupsi Gede Angastia (Anggas) dari Bali, ke DPR RI dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), lengkap dengan 3 (tiga) bukti yang disebut kuat dan berpotensi menyeret nama legislator dari Fraksi Golkar tersebut.
Menanggapi laporan tersebut, Sekretaris Jenderal DPP Garda Tipikor Indonesia (GTI), Deri Hartono menyampaikan sikap tegas. Ia menyebut kasus ini harus ditindaklanjuti secara serius oleh aparat penegak hukum tanpa pandang bulu. “3 (Tiga ) bukti yang kami kantongi bukan sekadar asumsi, melainkan data formal yang mengindikasikan pelanggaran berat dalam pengadaan APD. Proses hukum tak boleh berhenti di level direksi,” ujar Deri saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (5/6/2025).
Ironi ini bukan sekadar angin lalu. Dalam kasus pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19 yang menyeret nama Gede Sumarjaya Linggih alias Demer, kita kembali dihadapkan pada potret buram pengawasan yang tak berjalan. Tiga indikasi kuat dari penerimaan proyek tanpa dokumen legal, rangkap jabatan, hingga penghapusan jejak hukum semua menunjukkan satu benang merah: fungsi kontrol negara telah remuk dalam diam.

Bukti laporan resmi disampaikan oleh aktivis antikorupsi Gede Angastia (Anggas) dari Bali, ke DPR RI dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), lengkap dengan 3 (tiga) bukti yang disebut kuat dan berpotensi menyeret nama legislator dari Fraksi Golkar tersebut. (Foto: IST. Mantv7.id)
Ketika jabatan dan wewenang bertemu tanpa rambu etika, di situlah bahaya muncul. Gede Linggih, sebagai anggota DPR dan sekaligus komisaris PT Energi Kita Indonesia (EKI), diduga berada dalam pusaran konflik kepentingan yang menjijikkan. Komisi, keuntungan, dan pengaruh politik diduga menjadi alat tukar, sementara rakyat menjerit dalam pandemi yang seharusnya direspons dengan empati dan kerja tulus, bukan kepentingan pribadi.
Mengapa pengawasan internal dan eksternal pemerintahan pusat begitu lemah hingga kasus semacam ini bisa lolos dari radar sejak awal? Mengapa check list lapangan, monitoring berkala, hingga evaluasi interseksi antar bidang justru lenyap di tengah hiruk-pikuk administrasi formalitas? Jawaban sederhananya: karena banyak pejabat hanya bekerja untuk gaji, bukan karena panggilan nurani.

Foto Kabid Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
Siaruddin, Kabid Humas DPP YLPK PERARI angkat bicara dengan nada getir:
“Fungsi ASN dan pejabat hari ini seolah bergeser: dari pelayan publik menjadi pelayan kekuasaan. Ini bukan hanya kelalaian, tapi bentuk pengkhianatan terhadap amanah undang-undang dan kepercayaan rakyat.”
Di balik laporan yang diajukan aktivis Gede Angastia dan direspons Sekjen GTI Deri Hartono, terlihat jelas bahwa pengawasan tidak berjalan, koreksi tak dilakukan, dan pengendalian lumpuh. Dan yang lebih tragis: dugaan penghapusan nama dari dokumen perusahaan justru makin menebalkan aroma rekayasa hukum.
Kita bertanya di mana Inspektorat? Di mana BPKP? Di mana APIP dan DPRD? Mengapa proses evaluasi hasil kerja dan pemantauan hasil justru jadi formalitas belaka? Dalam skenario birokrasi yang dipenuhi aktor pasif dan pengawas yang tertidur, kebocoran anggaran adalah keniscayaan.
Aktivis sosial Buyung E. pun menyentil keras lewat pernyataannya: “Negara ini bukan kurang undang-undang, tapi krisis orang-orang berintegritas. Setiap dinas, setiap bidang, setiap seksi punya tupoksi. Tapi ketika mereka lalai kroscek kerja, cek lapangan, dan hanya duduk di ruangan dingin, maka rakyat akan terus dirugikan oleh proyek-proyek siluman dan kinerja semu.”

Foto Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang. (Foto: IST. Mantv7.id)
Kerugian negara sebesar Rp319,6 miliar bukan angka imajiner. Itu representasi nyata dari rusaknya sistem akuntabilitas. ASN dan pejabat seharusnya bukan sekadar penonton, tapi penjaga gerbang anggaran rakyat. Jika mereka abai, maka layak disebut ikut serta dalam pusaran kejahatan birokrasi baik secara aktif maupun pasif.
Dugaan, indikasi, dan jejak-jejak persengkongkolan semacam ini tak boleh dibiarkan menggantung. Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran kami harapkan turun langsung, audit total seluruh sistem pemerintahan, evaluasi tiap dinas, tiap instansi, tiap kepala OPD, dan hentikan pola makan gaji buta berseragam yang membahayakan masa depan bangsa.
Waktu terus berjalan. Surat pengaduan sudah diterima, nama-nama sudah disebut, dan rakyat sudah cukup bersabar. Jika tak segera ada ketegasan dari para penegak hukum, maka legitimasi negara hanya akan menjadi dokumen kosong yang dibaca dengan getir oleh generasi mendatang.
Ketika pengawasan mati, dan pejabat memilih bungkam, maka tak perlu menunggu musuh datang bangsa ini akan hancur oleh abainya penjaganya sendiri.
(OIM|Mantv7.id)