Balaraja, MANtv7 – Dugaan praktik pungutan liar kembali mencuat dari jantung aktivitas ekonomi rakyat kecil. Lapak-lapak liar di sepanjang Jalan Sentiong, Desa Tobat, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, kian menggila. Diduga kuat ada aliran dana jutaan rupiah dari para pedagang ke oknum pengurus desa. Ironisnya, kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa sentuhan serius dari pihak berwenang.
Sejumlah narasumber yang identitasnya dirahasiakan mengungkapkan, setoran yang diminta terdiri dari registrasi sebesar Rp2 juta per titik lapak, iuran bulanan Rp500 ribu, dan pungutan harian Rp10 ribu yang diklaim sebagai biaya listrik dan sampah. “Kami bayar, tapi kami sendiri yang bangun. Listrik dan sampah? Kami urus juga sendiri,” tutur salah satu pedagang.
Kondisi Jalan Sentiong pun kian semrawut. Separuh badan jalan diserobot lapak-lapak liar, mengakibatkan kemacetan parah setiap pagi dan sore. Warga yang melintas menjadi korban langsung dari kekacauan tata kelola wilayah ini. “Kalau sampai bertahun-tahun begini dan dibiarkan, pasti ada yang bermain,” ujar seorang pengguna jalan dengan nada kesal.
Mirisnya, tak ada respon resmi dari Kecamatan Balaraja, Pemerintah Desa Tobat, Dinas Perhubungan, bahkan Satpol PP setempat meski berbagai pemberitaan sudah dikirimkan ke masing-masing instansi sejak awal April 2025. Hingga berita ini diturunkan, belum ada satu pun klarifikasi maupun tindakan tegas dari para pejabat terkait.
Padahal, Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tegas menyebutkan bahwa setiap penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara adalah tindak pidana. Sedangkan Pasal 12 huruf e dalam UU yang sama, melarang setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji karena kekuasaan yang dimilikinya.
Laporan yang sebelumnya tayang di InovasiNews.Com (22 April 2025) telah memicu tindakan mendadak Camat Balaraja yang turun menertibkan pedagang. Namun, langkah ini dianggap hanya reaksi sesaat tanpa solusi struktural. Bahkan Kepala Desa Tobat menyebut penertiban tersebut sebagai “kurang hot”.
Sementara itu, sejumlah warga mempertanyakan integritas aparat pengawas. Apakah Inspektorat, BPK, dan aparat penegak hukum lainnya sudah cukup melek terhadap praktik seperti ini? Atau justru ikut membisu dalam permainan ini?
Selain itu, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas menyatakan bahwa kepala daerah wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan dan laporan dari masyarakat. Pembiaran semacam ini adalah bentuk pelanggaran terhadap asas akuntabilitas dan transparansi.

Kolase foto logo YLPK-PERARI & MANtv7. (Foto: MANtv7.id)
Ustad Ahmad Rustam, aktivis kerohanian dan anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, ikut angkat bicara. Ia menilai pembiaran terhadap praktik dugaan pungutan liar ini mencerminkan penyakit moral birokrasi yang akut.
“Ketika jalanan dikuasai lapak ilegal, dan dana-dana liar mengalir entah ke mana, itu bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi kezaliman terhadap hak publik. Aparat yang diam berarti telah ikut menikmati atau takut kehilangan kenyamanan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan, dalam Islam, amanah adalah tanggung jawab berat yang akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun akhirat. Setiap pemegang kekuasaan wajib bertindak adil, karena kelalaian terhadap amanah adalah bentuk pengkhianatan kepada rakyat dan pelanggaran terhadap nilai-nilai ketuhanan.
Situasi ini juga berpotensi melanggar UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Ketiadaan tindakan dari dinas terkait menguatkan dugaan adanya pembiaran sistematis.
Humas DPP YLPK PERARI Siarruddin menyatakan, jika tidak ada tindakan nyata dari Pemkab Tangerang dan instansi terkait, pihaknya akan segera mengirimkan surat resmi pengaduan ke aparat hukum. “Ini bukan sekadar ketertiban umum, tapi soal moralitas tata kelola publik,” tegasnya.
Berbagai bukti dan pengakuan warga menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar ketidaktertiban pedagang kecil. Ini adalah persoalan struktur dan mentalitas birokrasi yang membiarkan praktik liar tumbuh subur di ruang publik.
Jika Pemkab Tangerang dan seluruh perangkat dinasnya masih bungkam, maka bukan tidak mungkin masyarakat akan kehilangan kepercayaan sepenuhnya pada institusi pemerintahan daerah. Penegak hukum dituntut tidak hanya membuka mata, tapi juga mengambil langkah hukum konkret.
Harapannya, Pemkab Tangerang dan semua dinas serta lembaga penegak hukum mampu segera turun tangan, bukan sekadar menonton dari kejauhan. Sebab jika sistem dibiarkan bobrok dari desa, jangan harap ada wibawa tersisa di tingkat kabupaten.
(OIM)