Mantv7.id | Kabupaten Tangerang – Ada yang lebih busuk dari bangkai: keadilan yang diperdagangkan. Kasus Maryadi alias Jojon adalah potret telanjang bagaimana hukum di negeri ini bisa berubah jadi dagangan, murah untuk rakyat kecil, mahal untuk mereka yang punya kuasa. Mari kita bicara fakta, bukan drama. Maryadi sejak 29 Maret 2025 sudah menitipkan ganti rugi Rp125 juta kepada pelapor Aidil Amin bin Hasan (alm). Surat pernyataannya ada, sah, dan di atas materai. Tapi dakwaan Jaksa tetap berbunyi “Maryadi tidak beritikad baik berbulan-bulan.” Kalau ini bukan pemutarbalikan fakta, lalu apa namanya?
Lebih ironis lagi, berkas perkara Nomor: 898/Pid.B/2025/PN Tng baru didaftarkan pada 3 Juni 2025, lebih dari dua bulan setelah penitipan uang. SOP Jaksa Agung jelas mengatur kewajiban mempertimbangkan fakta meringankan, tapi sepertinya aturan hanya untuk dibaca saat ujian kenaikan pangkat.
Tim redaksi Suara Gempur mendapatkan bukti bahwa pada 29 Maret 2025, telah dibuat Surat Pernyataan Penitipan Ganti Rugi senilai Rp125 juta dari Maryadi kepada pelapor Aidil Amin bin Hasan (alm). Namun fakta ini tidak disebutkan atau dipertimbangkan dalam dakwaan JPU, bahkan dalam dakwaan terdakwa dituduh tidak memiliki itikad baik selama berbulan-bulan.
Padahal, berkas perkara dengan Nomor: 898/Pid.B/2025/PN Tng baru didaftarkan pada 3 Juni 2025, atau lebih dari dua bulan setelah surat penitipan dibuat. Pertanyaannya, mengapa upaya penyelesaian dan pengembalian uang tersebut diabaikan dalam dakwaan?
Yang bikin rakyat muak, Lurah PN yang disebut tegas dalam BAP menerima Rp42 juta dari Maryadi malah aman-aman saja. Ketika ditanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yossy cuma menjawab santai:
“Informasi yang kami terima, uang tersebut sudah dikembalikan oleh Lurah PN kepada Maryadi.” “Saya tidak melihat bukti pengembaliannya, hanya menerima informasi saja,” ujarnya Kamis (18/7/2025).
Jadi sekarang penegakan hukum cukup pakai “katanya”? BAP hanya pajangan, SOP Jaksa Agung Nomor: PER-036/A/JA/09/2011 cuma hiasan dinding?
Pertanyaan yang lebih pedas: apa karena Lurah PN sekarang duduk manis di kursi DPRD Provinsi Banten dari partai besar, sehingga hukum memilih pura-pura buta?
Kalau begini caranya, ganti saja tulisan di gedung pengadilan dari “Keadilan Untuk Semua” menjadi “Keadilan Untuk yang Berkuasa.” Karena Pasal 55 dan 56 KUHP ternyata hanya berlaku untuk orang-orang biasa.
Keadilan di negeri ini seperti timbangan miring: ringan di tangan pejabat, berat di punggung rakyat kecil.
Ustad Ahmad Rustam, aktivis sosial dan Humas YLPK Perari DPD Banten, angkat suara dengan nada tegas:

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
“Allah sudah memperingatkan dalam Surah An-Nisa ayat 58: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. Kalau hukum dipermainkan demi kepentingan orang-orang besar, itu pengkhianatan terhadap amanah”.
“Rasulullah juga bersabda, ‘Binasalah umat sebelum kalian karena mereka menghukum orang kecil dan membebaskan orang besar.’ Ini bukan sekadar salah, tapi dosa besar,” tegasnya.

Foto Donny Putra T. S.H., aktivis Sosial – Lingkungan juga selaku Kabid advokasi di DPD YLPK PERARI Banten (Foto: Mantv7.id)
Donny Putra T., S.H, Kabid Advokasi & Sosial YLPK Perari DPD Banten, menilai penanganan kasus ini sudah menyimpang dari prinsip dasar hukum pidana:

Logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
“SOP Jaksa Agung Nomor: PER-036/A/JA/09/2011 mewajibkan obyektivitas. Fakta penitipan ganti rugi Rp125 juta harusnya jadi pertimbangan, bukan diabaikan. Mengabaikan fakta ini bisa masuk kategori pelanggaran etik serius.”
“Dan soal Lurah PN, Pasal 55 dan 56 KUHP jelas mewajibkan siapa pun yang terlibat atau membantu tindak pidana dimintai pertanggungjawaban. Kalau ini dibiarkan, publik punya hak menduga hukum sengaja tebang pilih,” ujarnya.
Rakyat boleh diam, tapi bukan berarti bodoh. Semakin hukum dipermainkan, semakin hilang hormat rakyat pada institusi yang mestinya jadi penjaga keadilan.
Jaksa Agung harus turun tangan. Bersihkan perkara ini, atau biarkan sejarah mencatat: keadilan pernah dikubur hidup-hidup demi gengsi kekuasaan.
REDAKSI | OIM