Menu

Dark Mode
Klontongan Hukum dan Buzzer Keadilan: Ketika Negara Dibisniskan Lewat Opini Palsu Petani di Pringsewu Dikeroyok di Jalan Umum, Kuasa Hukum Desak Polisi Tangkap Pelaku Sugani Ditangkap, Perjuangan 6 Bulan YLPK PERARI Berbuah Hasil: Terima Kasih Jajaran Polresta Kabupaten Tangerang Betonisasi Busuk di Kabupaten Tangerang: Dari Bukit Gading ke Vila Balaraja, Proyek Siluman Menari di Atas Pajak Rakyat Silaturahmi Strategis YLPK PERARI dan Dishub Tangkab: Membangun Sinergi demi Kepentingan Masyarakat Rentenir Berkedok Koperasi, Bunga Over Tinggi, Dokumen Pribadi Disandera: Soala Gogo Jadi Teror Baru Warga

Lingkungan

Kubangan di Pete, Cermin Busuknya Sistem: Drainase Tak Terurus, Pengawasan Tak Berjiwa

badge-check


					Foto drainase Desa Pete, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, kembali jadi headline bukan karena prestasi, tetapi karena genangan air yang tak kunjung surut. (Foto: IST. Mantv7.id) Perbesar

Foto drainase Desa Pete, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, kembali jadi headline bukan karena prestasi, tetapi karena genangan air yang tak kunjung surut. (Foto: IST. Mantv7.id)

Mantv7.id | Tigaraksa — Desa Pete, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, kembali jadi headline bukan karena prestasi, tetapi karena genangan air yang tak kunjung surut. Jalan provinsi yang menghubungkan Tigaraksa dan Cisoka ini berubah fungsi: bukan lagi jalur penghubung antar desa, tapi kolam dadakan setiap hujan tiba. Warga bertanya-tanya: ke mana larinya pajak yang mereka setorkan tiap tahun?

Rahmatullah, Ketua RW 03 Desa Pete, mengangkat suara lantang mewakili jeritan masyarakat. Dalam sebuah wawancara dengan media lokal, ia menyebutkan bahwa keberadaan drainase yang layak bukan sekadar tambahan, tapi kebutuhan mutlak. “Pemasangan u-ditch tidak bisa diserahkan pada swadaya warga, ini tanggung jawab negara,” ujarnya penuh kecewa.

Ironis, di tengah program pembangunan infrastruktur yang digembar-gemborkan pemerintah, jalan provinsi ini justru menjadi bukti telanjang bahwa asas efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas hanya jargon kosong. Dugaan pembiaran terhadap drainase rusak mengarah pada lemahnya perencanaan dan pengawasan anggaran di lapangan.

Minimnya perhatian terhadap sistem drainase di lokasi ini diduga kuat disebabkan oleh lemah dan lalainya pengawasan internal proyek. Ketika jalan provinsi tidak memiliki saluran pembuangan air yang memadai, maka setiap tetes hujan berubah menjadi potensi kerugian negara yang nyata: kerusakan aspal, kecelakaan lalu lintas, hingga biaya pemeliharaan yang membengkak.

Patut dipertanyakan, apakah Dinas Bina Marga Provinsi Banten sudah turun meninjau langsung atau sekadar percaya laporan di atas kertas? Dimana fungsi pengawasan teknis, monitoring berkala, dan kontrol kualitas yang semestinya berjalan dinamis dalam pelaksanaan proyek? Jalan ini adalah wajah pemerintah, dan saat ini wajah itu bopeng.

Kecamatan Tigaraksa sebagai wilayah administratif setempat juga layak disorot. Dimana fungsi deteksi dini dan analisis masalah sebelum kerusakan menjadi kronis? Fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan infrastruktur seharusnya melekat, bukan malah menjadi formalitas laporan bulanan.

Foto kantor Kecamatan Tigaraksa. (Foto: IST. Mantv7.id)

Kecamatan Tigaraksa sebagai pemangku wilayah administratif di lokasi ini juga tak luput dari sorotan. Dalam struktur pemerintahan, kecamatan seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendeteksi masalah, mengkoordinasikan pengawasan, serta menyampaikan laporan kondisi riil ke tingkat kabupaten atau provinsi.

Namun faktanya, dugaan kelalaian fungsi tersebut mencuat ke permukaan. Warga tak pernah melihat inisiatif konkret dari pihak kecamatan untuk meninjau langsung, apalagi mengadvokasi kebutuhan drainase yang sudah lama menjadi keresahan bersama.

Pertanyaannya kini: Kecamatan Tigaraksa sudah melakukan apa saja? Apakah cukup hanya duduk manis menunggu laporan, sementara jalan provinsi di wilayahnya terus berubah jadi kolam tak bertuan?

Yang lebih menyakitkan, warga sekitar mengaku tak pernah melihat ada pendampingan dari OPD terkait selama proyek berjalan. Bahkan, papan proyek tak terlihat, seperti proyek siluman. Jika benar demikian, maka ini pelanggaran terhadap prinsip transparansi publik. Bukankah Perpres Pengadaan Barang/Jasa mengatur soal itu?

Lemahnya audit, reviu, evaluasi, dan pemantauan kinerja oleh APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) patut didalami. Inspektorat seakan berhibernasi, lupa bahwa tugasnya bukan sekadar menerima laporan, tapi memverifikasi kondisi lapangan dengan cermat. Jika ini terus dibiarkan, maka kerugian keuangan daerah tinggal menunggu audit BPK berikutnya.

Buyung, Kabid Humas DPD YLPK PERARI Provinsi Banten. (Foto: Mantv7.id)

Buyung, Kabid Humas DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, menyatakan dengan tegas, “Ini adalah wajah buruk dari sistem birokrasi yang penuh formalitas. Kalau sudah tahu jalan rusak dan drainase tidak berfungsi, tapi tetap diam, itu namanya bukan lalai itu kejahatan struktural. Uang rakyat dipakai bukan untuk kesejahteraan, tapi untuk menambah daftar proyek mangkrak.”

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)

Rian, aktivis sosial Kabupaten Tangerang, menyuarakan hal serupa. “Sudah saatnya rakyat tidak hanya membayar pajak, tapi juga menuntut haknya. Kami minta DPRD bersuara! Ini bukan jalan pribadi, ini jalan rakyat. Jangan tunggu ada korban baru kalian buat rapat paripurna!” tegasnya dalam forum diskusi warga.

Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tangerang seharusnya segera membentuk tim audit khusus untuk membedah carut-marut penanganan infrastruktur di wilayahnya. Ini bukan soal anggaran kecil ini soal nyawa rakyat, kenyamanan warga, dan kredibilitas pemerintahan daerah yang tengah diuji.

Dugaan kelalaian dalam pengawasan proyek drainase ini bisa menjadi bola salju yang menggelinding menjadi kerugian keuangan daerah. Ketika anggaran terus diserap tanpa hasil nyata, dan proyek dibiarkan tanpa papan nama, tanpa pengawasan, maka publik berhak mempertanyakan: apakah ini proyek pembangunan atau proyek penggelapan harapan?

Kami mengajak semua pihak untuk tidak lagi berlindung di balik birokrasi. Pemerintah harus hadir bukan hanya saat peresmian, tapi juga ketika masyarakat butuh solusi nyata. Drainase bukan hal remeh ia menentukan masa depan jalan, keselamatan warga, dan harga diri anggaran daerah.

Rakyat sudah cukup sabar, kini saatnya birokrat membuktikan bahwa jabatan bukan cuma lambang, tapi tanggung jawab nyata.

(OIM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Petani di Pringsewu Dikeroyok di Jalan Umum, Kuasa Hukum Desak Polisi Tangkap Pelaku

19 June 2025 - 00:04 WIB

Sugani Ditangkap, Perjuangan 6 Bulan YLPK PERARI Berbuah Hasil: Terima Kasih Jajaran Polresta Kabupaten Tangerang

18 June 2025 - 15:08 WIB

Betonisasi Busuk di Kabupaten Tangerang: Dari Bukit Gading ke Vila Balaraja, Proyek Siluman Menari di Atas Pajak Rakyat

18 June 2025 - 09:58 WIB

Silaturahmi Strategis YLPK PERARI dan Dishub Tangkab: Membangun Sinergi demi Kepentingan Masyarakat

18 June 2025 - 09:40 WIB

Rentenir Berkedok Koperasi, Bunga Over Tinggi, Dokumen Pribadi Disandera: Soala Gogo Jadi Teror Baru Warga

17 June 2025 - 09:52 WIB

Trending on Daerah