Mantv7.id | Tangerang – Suara rakyat dibungkam? Kritik dibalas tudingan. Polemik yang melibatkan Kepala Desa (Kades) Cikande, Kecamatan Jayanti, kini memanas dan menyeret nama jurnalis ke pusaran tudingan. Alih-alih memberikan klarifikasi atas surat somasi dari salah satu lembaga masyarakat sipil, sang Kades justru diduga mengarahkan tuduhan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa kritik terhadap kebijakan desa justru dijawab dengan serangan balik terhadap pembawa pesan? Bukannya membuka ruang klarifikasi, Kades malah disinyalir melakukan pengalihan isu dengan mengkambinghitamkan media.
Somasi yang diterima Kades berkaitan dengan dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan Program RTLH (Rumah Tidak Layak Huni). Ada indikasi bahwa program tersebut tidak berjalan sesuai aturan. Namun, bukan jawaban yang datang, melainkan tudingan bahwa media sengaja membesar-besarkan isu untuk kepentingan tertentu.
“Saya merasa dilecehkan secara moral. Kok wartawan dijadikan kambing hitam? Padahal kami hanya mengonfirmasi untuk menyampaikan hak jawab, bukan menjatuhkan siapa pun,” ujar Mul, salah satu jurnalis media online yang mengawal kasus ini.
Ia menegaskan bahwa wartawan bekerja berdasarkan etika profesi dan Undang-Undang Pers. “Kami tidak punya niat menyerang siapa pun. Tapi kalau dituding tanpa dasar, tentu kami tidak akan diam,” tambahnya.

Logo Hefi Sanjaya & Partners. (Foto:Mantv7.id)
Donny Putra T, S.H., pengamat hukum sekaligus pengurus Law Firm Hefi Sanjaya & Partners, turut mengomentari polemik ini. Ia menilai sikap pejabat publik yang melontarkan tuduhan ke arah media tanpa dasar hukum adalah tindakan keliru dan berisiko.
“Pejabat publik seperti kepala desa memiliki tanggung jawab hukum dan etika. Jika merasa difitnah, tempuh jalur hukum, bukan main tuding. Menyerang wartawan bisa dikategorikan sebagai bentuk tekanan terhadap kebebasan pers,” jelasnya.

Pengamat hukum Donny Putra T, S.H., dari Law Firm Hefi Sanjaya & Partners. (Foto: Mantv7.id)
Ia menambahkan, ASN dan kepala desa harus sadar bahwa jabatan mereka melekat dengan prinsip akuntabilitas. “Kalau memang tidak ada yang salah, buktikan dengan transparansi, bukan dengan drama atau serangan balik,” tegas Donny.
Senada, Ustaz Ahmad Rustam, aktivis sosial-keagamaan, mengkritik sikap pejabat yang alergi terhadap teguran. Ia mengingatkan bahwa dalam ajaran Islam, pemimpin adalah amanah yang wajib terbuka terhadap nasihat.
“Kalau seorang pemimpin tidak mau dikritik, itu tanda bahaya. Jabatan bukan hak, tapi titipan. Jangan salahkan orang yang mengingatkan, apalagi kalau itu wartawan yang mencari kebenaran,” ungkapnya dengan nada tajam.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
Ia juga menyinggung soal tanggung jawab akhirat. “Dalam Islam, pemimpin yang lalai akan dimintai pertanggungjawaban ganda. Jadi jangan anggap kritik sebagai serangan itu justru penyelamat,” katanya.
Kritik keras lainnya datang dari Buyung E, aktivis sosial dan lingkungan Kabupaten Tangerang yang juga menjabat sebagai Humas DPD YLPK Perari Banten. Ia menyebut sikap Kades sebagai bentuk pengalihan isu yang tak bertanggung jawab.

Foto Buyung E, Humas DPD YLPK PERARI Banten. (Foto: Mantv7.id)
“Fokusnya harusnya ke dugaan penyimpangan program desa, bukan malah cari-cari siapa yang membuka suara. Menyudutkan wartawan itu bukan solusi, tapi pembodohan publik. Rakyat sudah cerdas, jangan diremehkan,” ucap Buyung.
Ia menegaskan bahwa kontrol sosial dan transparansi adalah bagian dari demokrasi desa. “Wartawan bukan musuh. Mereka bagian dari mekanisme kontrol. Kalau pejabat takut dikoreksi, maka patut diduga ada sesuatu yang disembunyikan,” pungkasnya.
Dalam iklim demokrasi, kritik bukanlah ancaman, melainkan cermin bagi pemimpin agar tetap berjalan di atas rel kebenaran. Ketika suara rakyat dibungkam, saat itulah kepercayaan mulai runtuh. Maka, bersikap terbuka terhadap masukan adalah bentuk kematangan, bukan kelemahan.
Kritik adalah cermin, bukan serangan. Pemimpin bijak tak takut dikoreksi, justru belajar darinya.
REDAKSI | OIM