Mantv7.id | Kadang-kadang kita harus berhenti sejenak dan bertanya: negara ini sebenarnya sedang ke mana? Ketika hukum tidak lagi dijalankan sebagai instrumen keadilan, tapi jadi seperti barang dagangan yang dijajakan di pinggir jalan. Mahfud MD pernah bilang, “Hukum kita ini sudah kayak toko kelontong. Tinggal beli orangnya.” Gila, ya, tapi itu bukan lelucon. Itu realita. Realita yang bikin banyak orang ngeri, tapi juga capek untuk peduli. Karena mau teriak sekeras apa pun, yang punya duit tetap menang. Yang punya kekuasaan tetap kebal. Dan rakyat? Ya, paling banter bisa ngetik status sambil pasrah.
Belum habis dari geger pernyataan Mahfud, publik dibikin geleng-geleng lagi dengan pengakuan Marcella Santoso, seorang pengacara dalam lingkaran kasus CPO. Ia buka suara. Katanya, ada proyek besar yang dijalankan lewat akun-akun buzzer untuk mengganggu proses hukum. Narasi soal “Indonesia Gelap”, soal petisi RUU TNI itu katanya dibuat, disusun, dan disebar seperti jualan gorengan.
Lebih gila lagi, buzzer-nya bukan satu dua. Ada ratusan. Dibiayai hampir satu miliar rupiah. Bukan uang kecil. Tujuannya? Bikin keraguan publik. Lemparkan isu, bangun tagar, dan kalau perlu bikin yang salah terlihat seperti korban. Dunia maya dijadikan medan tempur menggagalkan keadilan.
Tapi seperti cerita sinetron murahan, Marcella kemudian menarik ucapan itu. Katanya, dia nggak bikin konten soal RUU TNI. Dia juga nggak buat Indonesia Gelap. Padahal, penyidik bilang bukti elektroniknya nyambung ke sana. Jadi mana yang benar? Entahlah. Tapi yang jelas, publik makin bingung, dan yang jahat malah senyum di balik layar.
Kalau memang hukum bisa dibengkokkan dengan opini, lalu apa bedanya pengadilan dengan kolom komentar? Keadilan jadi semacam lomba trending, bukan soal benar atau salah. Asal bisa menguasai ruang maya, bisa bikin persepsi, bisa bayar buzzer semuanya bisa dibalik.

Podcast Bikin Terang: Mahfud MD Bongkar Mafia Peradilan “Hukum Bak Toko Klontong”, menggambarkan praktik penyalahgunaan kekuasaan di sektor hukum. (Foto: IST. Mantv7.id)
Mahfud MD bicara soal hukum toko kelontong bukan untuk gaya-gayaan. Beliau ngomong itu karena tahu dari dalam. Karena sudah terlalu lama melihat bagaimana penegak hukum bukan lagi penjaga kebenaran, tapi penjaga kepentingan.
Ustaz Ahmad Rustam, aktivis kerohanian bicara dengan suara yang berat tapi tegas. “Negeri ini bukan kekurangan ahli hukum, tapi kekurangan kejujuran. Hukum kita bukan mati, tapi dijual hidup-hidup di meja-meja kekuasaan”.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
“Saya tidak minta keajaiban, saya hanya ingin hukum berdiri tanpa harus mencium tangan siapa pun. Kalau hari ini masih bisa dibeli, maka kita sedang menyusun kiamat kecil yang pelan-pelan memakan anak cucu kita sendiri”. Tambahnya.
Kutipan itu bukan retorika. Itu jeritan batin rakyat biasa yang masih percaya bahwa hukum bisa dibenahi. Bahwa negara ini belum sepenuhnya tenggelam dalam kelicikan.
Tapi ya, harapan tak cukup tanpa keberanian. Para pejabat yang tahu kebusukan ini, tapi memilih diam, sejatinya sedang ikut menggali kubur untuk negara ini. Karena diam di tengah ketidakadilan, itu juga kejahatan.
Kita hidup di zaman di mana opini bisa disewa, fakta bisa disabotase, dan hukum bisa dinego. Di tengah itu semua, yang jujur makin sulit bicara. Dan yang bersuara, malah diserang balik. Dunia jungkir balik. Logika dikalahkan oleh like dan algoritma.
Negara ini butuh lebih dari sekadar reformasi. Kita butuh pembersihan total. Karena kalau hukum terus dijadikan proyek jualan, maka yang tinggal hanya kemunafikan massal bertabur simbol, tapi kosong di dalam.
Dan kalau suatu hari nanti negeri ini benar-benar gelap, bukan karena listrik mati. Tapi karena keadilan padam pelan-pelan, dibisniskan, dibungkam, dan dijual eceran.
(OIM)