Mantv7.id | Kabupaten Tangerang — Laporan investigatif ini merupakan edisi keempat dari rangkaian sorotan publik terhadap proyek pemeliharaan Kantor Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Kali ini, yang dipertanyakan bukan hanya kualitas fisik bangunannya, tetapi juga kualitas birokrasi yang tampaknya ikut ambruk bersama debu proyek yang beterbangan di ruang pelayanan.
Di tempat yang seharusnya menjadi ruang steril dan nyaman bagi warga untuk mengurus administrasi, justru terdengar suara bor, palu, dan obrolan tukang di antara tumpukan kabel. Pekerjaan dilakukan tanpa pembatas area kerja. Debu menyebar, suara memantul, dan masyarakat tetap dilayani di tengah suasana seperti lokasi syuting film dokumenter bencana.
Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana mungkin ruang publik yang dikunjungi ratusan warga per hari dibiarkan seperti gudang logistik tanpa standar kesehatan dan keselamatan kerja? Di mana profesionalitas penyedia jasa dan pengawas proyek? Ataukah sejak awal memang proyek ini tidak dirancang dengan standar publik yang layak?

Kolase foto pelanggaran prosedur keselamatan kerja bukan hanya ancaman terhadap nyawa para pekerja, tapi juga penghinaan terhadap akal sehat publik. Dalam beberapa foto yang beredar, terlihat pemasangan instalasi listrik dilakukan secara santai, tanpa alat pelindung apapun. Pertanyaannya: apakah para pekerja ini bersertifikat? Profesional? Atau hanya korban sistem tender yang asal-asalan?. (Foto: Mantv7.id)
Lebih memprihatinkan, dokumentasi warga menunjukkan seorang pekerja instalasi listrik hanya mengenakan celana pendek dan sandal jepit saat menyambung kabel. Tanpa alat pelindung diri, tanpa standar keamanan, dan tanpa sertifikasi. Ini proyek pemerintah, bukan bengkel di belakang rumah.
Saat dimintai tanggapan, Camat Tigaraksa justru memberikan pernyataan yang membekukan akal sehat publik: “Kalau sudah diberitakan, saya mau kasih tanggapan apa?” Kalimat pendek, sinis, dan minim tanggung jawab. Apakah ini representasi kepemimpinan birokrasi modern, yang lebih memilih diam daripada menjelaskan?
Jika benar pekerjaan ini tidak sesuai standar keselamatan, lalu siapa yang mengawasi? Di mana peran kontrol internal satuan kerja? Bukankah prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas menjadi dasar setiap pengelolaan anggaran daerah?
Kelalaian pengawasan ini seolah menunjukkan bahwa sistem birokrasi masih dikungkung tradisi lama: formalitas tanpa fungsi. Apakah Inspektorat Daerah hanya menunggu laporan, bukan melakukan deteksi dini? Apakah DPMPD hanya mengesahkan SPJ tanpa verifikasi lapangan?

Foto kantor Kecamatan Tigaraksa. (Foto: IST. Mantv7.id)
Perlu digarisbawahi, Kantor Kecamatan Tigaraksa adalah ruang publik, bukan properti pribadi. Maka, seluruh aktivitas di dalamnya wajib memenuhi standar tata kelola publik. Jika area pelayanan disulap menjadi bengkel dadakan tanpa SOP, pemilik lokasi tidak bisa lagi bersembunyi di balik meja.
Satuan kerja teknis yang mengelola proyek ini harus transparan. Siapa penyedia jasanya? Apakah proses lelang sesuai Perpres Pengadaan Barang/Jasa? Apakah pengawasan harian dan mingguan benar-benar dilakukan? Mengapa progres lapangan tampak begitu kontras dengan laporan kegiatan?
Minimnya pengawasan eksternal menjadikan proyek ini berjalan dalam zona abu-abu. Monitoring proyek seperti sebatas tanda tangan absensi, bukan inspeksi nyata di lokasi. Maka tak heran pekerjaan asal-asalan berjalan mulus tanpa teguran, seolah sudah menjadi budaya.
Padahal, Perpres No. 12 Tahun 2021 menegaskan pentingnya pengawasan penyerapan anggaran secara ketat. Namun jika pelaksanaan proyek bisa sekacau ini, patut ditanyakan: apakah anggaran hanya dikejar untuk habis, bukan untuk hasil?

Foto Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang. (Foto: Mantv7.id)
Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang menyatakan keras, “Kalau proyek kecil saja sudah bobrok begini, bagaimana kita percaya proyek yang lebih besar? Ini uang rakyat, bukan sumbangan. Jangan jadikan kantor pemerintahan sebagai ajang uji coba ketidakbecusan. Semua pihak harus diperiksa, dari perencana sampai pelaksana.”
Rian Hidayat, Ketua YLPK PERARI DPAC Tigaraksa, juga menegaskan, “Lucu dan tragis. Kantor kecamatan seolah dijadikan tempat latihan bagi tukang magang. Camatnya menghindar, pengawasnya entah ke mana. Jika proyek seperti ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depan masyarakat hanya bisa mendapatkan pelayanan publik dari balik debu dan kabel kusut.”
Lebih disayangkan lagi, muncul pernyataan tidak pantas dari seorang pejabat publik. Seorang camat semestinya menjaga etika dan komunikasi yang baik, bukan justru melontarkan kalimat bernada konfrontatif seperti, “Ini mau ngajak ngopi atau ngajak ribut?” saat dimintai klarifikasi oleh wartawan terkait pemberitaan proyek pemeliharaan Kantor Kecamatan Tigaraksa. Sikap semacam ini bukan hanya menciderai prinsip keterbukaan informasi, tetapi juga mencerminkan rendahnya penghormatan terhadap tugas jurnalis sebagai pilar demokrasi.
Kini saatnya Bupati dan Wakil Bupati Tangerang turun tangan. Kekacauan pelaksanaan proyek ini adalah cermin retaknya birokrasi di akar rumput. Dengarkan jeritan rakyat di lapangan.
Pembangunan bukan sekadar soal bangunan berdiri. Ia adalah tentang nilai, tentang etika, dan tentang tanggung jawab. Jika pengawasan hanya menjadi formalitas dan kelalaian menjadi kebiasaan, maka anggaran daerah hanya akan menjadi kabut harapan yang menguap dari rakyat yang dikhianati.
Berita ini disusun secara independen berdasarkan data lapangan dan sumber terpercaya. Mantv7.id membuka ruang seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang disebut untuk memberikan klarifikasi atau hak jawab, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
(OIM)