Mantv7.id | Tangerang – Polemik seputar fasilitas, gaji, dan perlakuan istimewa terhadap anggota DPRD Kabupaten Tangerang kembali jadi sorotan tajam publik. Di tengah semangat transparansi dan pengawasan terhadap aparatur desa, justru muncul dugaan adanya standar ganda dalam memperlakukan sesama pejabat demokrasi antara kepala desa dan anggota dewan. Publik mempertanyakan mengapa kepala desa begitu mudah dipanggil, diperiksa, bahkan dipublikasikan bila ada kekeliruan administratif, sementara anggota dewan tampak nyaman dengan segala fasilitas tanpa tekanan yang sama. Ini menimbulkan kesan kuat bahwa ada kasta dalam demokrasi, di mana sebagian pejabat diperlakukan bak penguasa, sementara yang lain seperti pesakitan.
Data yang beredar di ruang publik menyebutkan bahwa anggota DPRD kabupaten mendapat gaji pokok, tunjangan komunikasi, tunjangan reses, serta berbagai fasilitas seperti kendaraan dinas, perjalanan dinas, dana publikasi, dan dokumentasi kegiatan dengan dihitung perkiraan, totalnya bisa lebih dari Rp70 juta sebulan. Setelah masa jabatan selesai pun, mereka masih menerima uang purnatugas yang nilainya tidak kecil.
Bandingkan dengan kepala desa yang harus mempertanggungjawabkan setiap rupiah dana desa, seringkali di bawah sorotan tajam aparat hukum dan media.
Dugaan adanya “anak emas” dalam sistem ini semakin kuat karena publik nyaris tidak pernah melihat anggota DPRD diproses hukum akibat kesalahan administratif, meski mereka juga memegang kekuasaan anggaran dan legislasi yang strategis.

Logo Hefi Sanjaya & Partners. (Foto:Mantv7.id)
Menurut Donny Putra. T, S.H., pengamat hukum dan ASN aktif yang juga pengurus di Law Firm Hefi Sanjaya & Partners, secara administratif tidak ada pelanggaran dalam pemberian fasilitas DPRD. Namun, ia menilai penting adanya kontrol publik dan transparansi yang setara. “Kalau kepala desa bisa diaudit terbuka, anggota dewan pun harus. Tidak bisa hanya karena duduk di kursi legislatif lalu kebal dari tekanan publik,” ujarnya.
Ustad Ahmad Rustam, tokoh kerohanian dan sosial, turut menyampaikan kritik dalam perspektif keadilan Islam. “Dalam ajaran Islam, pemimpin itu pelayan umat. Kalau hidup mewah dari uang rakyat tanpa kepekaan sosial, itu namanya kufur nikmat. Publik berhak menagih kesederhanaan dan integritas,” katanya.
Jangan heran dewan disayang pemerintah, karena mereka bukan hanya pejabat demokrasi tapi juga “mitra strategis” dalam membagi kue kekuasaan. Sementara kepala desa? Masih sibuk menjahit lubang infrastruktur pakai dana yang belum cair.

Foto Buyung E, Humas DPD YLPK PERARI Banten. (Foto: Mantv7.id)
Sementara itu, Buyung. E, Humas DPD YLPK PERARI Banten sekaligus aktivis sosial lingkungan Kabupaten Tangerang, menilai praktik ini berpotensi menodai semangat demokrasi lokal. “Kita harus luruskan persepsi publik bahwa dewan itu bukan atasan kepala desa. Mereka sejajar sebagai pejabat demokratis. Jadi jangan sampai fasilitasnya melangit tapi kontribusinya tak terlihat,” tegasnya.
Lebih lanjut, muncul pertanyaan tentang keberadaan dana publikasi dan dokumentasi kegiatan DPRD. Beberapa pihak menduga bahwa alokasi ini sering kali lebih digunakan untuk pencitraan ketimbang pelaporan kinerja yang substantif. “Bila memang untuk dokumentasi, maka publik berhak tahu isinya apa, bentuknya seperti apa, dan berapa nilainya,” imbuh Buyung.
Di tengah dugaan ketimpangan ini, muncul pertanyaan telak: siapa yang lebih nyata kerjanya untuk rakyat mereka yang duduk manis di ruang AC, atau mereka yang menapak jalan becek demi urus warga?
Dalam konteks ini, YLPK PERARI mengajak semua elemen masyarakat sipil media, LSM, pegiat hukum, serta aliansi sosial untuk bersama-sama mendorong kesetaraan perlakuan antara dewan dan kepala desa. Keduanya adalah produk demokrasi, dibiayai rakyat, dan bekerja untuk rakyat. Tidak seharusnya ada pihak yang seolah kebal kritik hanya karena status kelembagaan.

Logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
“Kami tidak menuduh, tapi mengingatkan. Demokrasi harus setara. Kalau kepala desa bisa ditelanjangi karena kesalahan administrasi, maka anggota dewan pun tidak boleh kebal kritik. Jangan ada kasta dalam republik,” tulis pernyataan resmi YLPK PERARI.
Publik kini menanti, apakah DPRD Kabupaten Tangerang bersedia membuka rincian fasilitas dan anggaran secara terbuka. Ataukah dugaan ketimpangan ini akan terus jadi borok yang ditutup rapat?
Demokrasi bukan tempat kasta, semua harus setara di mata rakyat dan etika.
REDAKSI | Mantv7.id