Mantv7.id | Balaraja – Tumpukan sampah yang menggunung di sisi kiri dan kanan Fly Over Balaraja serta Jalan Baru Sentiong seolah menjadi penanda bahwa estetika dan kesehatan publik tidak lebih penting dari formalitas administrasi. Surat edaran dan penunjukan pengawasan kebersihan telah diteken. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: bau menyengat, lalat, dan keluhan warga yang tak kunjung ditanggapi.
Camat Balaraja dan Kepala Desa Tobat diminta tidak terus bersembunyi di balik meja dan tanda tangan. Warga meminta kejelasan, bukan basa-basi birokrasi. Jika tugas pengawasan sudah dilimpahkan, mengapa realisasinya nihil?
Pantauan lapangan menunjukkan titik-titik kritis seperti depan tanah Midong, pemancingan Ko Iing, pabrik sabun Tobat, makam Salak, hingga kawasan Pasar Sentiong, berubah menjadi ladang sampah terbuka. Lokasi-lokasi ini bukan sekadar koordinat, tetapi simbol dari dugaan kelalaian struktural yang kronis.
Warga mengeluhkan retribusi sampah yang tetap dipungut rutin setiap bulan antara Rp25.000 hingga Rp35.000 per rumah. Namun, dugaan kuat muncul bahwa pengelolaan dana ini tak sebanding dengan kualitas layanan. Lalu, untuk siapa sebenarnya retribusi itu mengalir? Apakah hanya yang berretribusi yang layak bersih tapi jalan umum tidak?

Kolase foto tumpukan sampah jalan baru Sentiong dan Fly Over Balaraja. Apakah hanya yang berretribusi yang layak bersih tapi jalan umum tidak? (Foto: Mantv7.id)
UPT 2 DLHK Kecamatan Balaraja memang sesekali muncul saat “grebek bersih” seremonial. Tapi, setelah itu hilang seperti bayangan senja. Dugaan publik mengarah pada aktivitas ‘tempelan’, bukan penanganan struktural. Fungsi kontrol jangka panjang seperti dilupakan.
Satuan kerja terkait, termasuk Upt 2 DLHK dan Kecamatan Balaraja, patut diaudit ulang. Rakyat berhak tahu: berapa besar anggaran pemeliharaan dan pengangkutan sampah? Berapa yang benar-benar digunakan? Berapa yang hanya ditulis rapi di SPJ? Dan kemana larinya retribusi?

Buyung, Kabid Humas DPD YLPK PERARI Provinsi Banten. (Foto: Mantv7.id)
“Ini bukan sekadar soal sampah, tapi potret kebobrokan sistem pengawasan yang tidak berjalan. Negara bisa rugi, dan rakyat bisa sakit. Kalau sudah ada surat tugas, mengapa hasilnya nihil?” tegas Buyung, Kabid Humas DPD YLPK PERARI Provinsi Banten.
Senada, Rian, aktivis sosial Kabupaten Tangerang, mengecam keras: “Jangan jadikan desa sebagai tempat pembuangan anggaran dan tanggung jawab. Kalau tugas sekecil ini saja gagal ditangani, bagaimana dengan program yang lebih besar? Bupati harus turun langsung.”
Dugaan kelalaian ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tangerang terpilih. Sudah waktunya membedah tuntas sistem yang hanya sibuk di atas meja, namun kosong di lapangan. Fungsi pembinaan dan evaluasi kinerja OPD harus ditegakkan.
Ketika tumpukan sampah menjadi simbol kegagalan birokrasi, maka sudah waktunya rakyat menuntut hasil, bukan janji. DPRD jangan hanya diam. Karena uang yang digunakan untuk ‘kertas dan tanda tangan’ itu berasal dari saku rakyat. Maka rakyat pula yang berhak menagih.
Kebersihan adalah wajah dari peradaban. Ketika tumpukan sampah dibiarkan menjadi ‘hiasan’ jalan raya, maka yang tercoreng bukan hanya jalan, tapi juga nurani kita bersama.
(OIM)