Mantv7.id-Kabupaten Tangerang-Di tengah jeritan warga soal tumpukan sampah, pengangguran, dan dominasi sistem outsourcing, publik dikejutkan dengan satu fakta pahit: anggaran besar justru dikucurkan untuk pemeliharaan ruang kerja Camat, Sekcam, dan gedung PATEN. Berdasarkan data resmi dari SIRUP LKPP per April 2025, nilai anggaran tersebut mencapai Rp484 juta lebih. Besarnya anggaran ini menimbulkan pertanyaan publik yang sangat mendasar: mengapa kenyamanan ruang pejabat lebih diprioritaskan, sementara rakyat dibiarkan bergulat dengan persoalan yang lebih mendesak dan menyentuh kebutuhan hidup harian?
Masalah sampah misalnya, masih menumpuk di berbagai titik strategis seperti flyover Balaraja dan Jalan Baru Sentiong, Desa Tobat. Minimnya Tempat Penampungan Sementara (TPS) menandakan lemahnya intervensi Dinas Lingkungan Hidup. Sementara itu, kantor camat tampak makin mewah dan adem ber-AC. Di sinilah letak ironi.
Masalah pengangguran juga menjadi bom waktu. Pemuda lokal sulit mendapat pekerjaan, karena mayoritas lowongan kerja justru dikuasai oleh sistem outsourcing berbayar mahal. Warga pun bertanya, apakah Dinas Tenaga Kerja dan Kecamatan Balaraja benar-benar peduli pada realitas di bawah?
Tak berhenti di situ, dugaan ketimpangan juga mencuat pada proses penunjukan kontraktor proyek. Banyak pekerjaan fisik di Balaraja justru diberikan kepada kontraktor dari luar wilayah. Padahal pelaku usaha lokal dinilai punya kemampuan dan pengalaman. Hal ini menggugah sorotan tajam ke Dinas Bina Marga dan Dinas Perumahan.
Ironisnya, dugaan proyek asal jadi atau Spanyol” (Separuh Nyolong) justru ramai diberitakan media lokal, namun tak satu pun aparat pengawasan turun tangan. Jika dugaan ini benar, maka patut dipertanyakan fungsi pengawasan dari pihak kecamatan dan inspektorat daerah.
Dugaan dana hibah untuk lansia dan pemuda juga jadi sorotan. Banyak kalangan mempertanyakan ke mana dana itu mengalir, karena di lapangan masih banyak kelompok penerima yang belum tersentuh. Jika distribusi dana negara tidak tepat sasaran, maka potensi maladministrasi dan pelanggaran bisa saja terjadi.
Masyarakat juga mengeluhkan buruknya akses terhadap informasi publik. Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, rakyat berhak tahu bagaimana dan ke mana anggaran daerah dialokasikan. Namun sayangnya, di Balaraja, transparansi masih menjadi barang langka.
Kemacetan parah setiap pagi dan sore akibat lapak liar di kawasan Sentiong, Desa Tobat, kian memperparah frustrasi publik. Dugaan adanya pungutan liar oleh oknum terhadap pedagang liar menambah kegelisahan. Siapa yang membekingi? Dan di mana Satpol PP serta aparat kecamatan?
Di sisi lain, anggaran ratusan juta untuk fasilitas ruang kerja camat tampak lancar tanpa hambatan. Ini menjadi simbol ketimpangan: gedung-gedung nyaman untuk elite, sementara rakyat hidup dalam tekanan, bau sampah, dan jalanan macet yang tak kunjung dibenahi.
Gerakan warga seperti “Balaraja Bicara” pun mulai mencuat, menyuarakan bahwa mereka bukan anti pembangunan, tapi menuntut keadilan. Jangan sampai pembangunan hanya dinikmati pejabat, sementara rakyat jadi penonton,” ujar Aminudin salah satu tokoh pemuda Balaraja.
Ustad Ahmad Rustam, seorang aktivis dakwah dan pengurus DPD YLPK PERARI Banten, turut menyuarakan kritik tajam. “Jika pejabat hanya sibuk memperindah ruang kerja tapi lalai menunaikan amanah pelayanan, itu bukan sekadar kecacatan birokrasi, tapi juga pengkhianatan moral.”.
Jangan sampai jabatan yang Allah titipkan hari ini menjadi bara api di akhirat kelak. Ingatlah, dalam Islam, pemimpin adalah pelayan umat, bukan penguasa yang sibuk memperindah singgasana,” ujar beliau. Ia pun mengingatkan, bahwa kekuasaan dunia hanya sesaat, tetapi pertanggungjawaban di akhirat itu kekal dan pasti.”. Tambah Ustad Ahmad Rustam.
Penegak hukum dan lembaga pengawas diminta untuk tidak berdiam diri. Berdasarkan UU Tipikor dan UU Administrasi Pemerintahan, pengawasan atas penggunaan anggaran dan penyelenggaraan pelayanan publik wajib dilakukan secara aktif dan objektif.
Bupati Kabupaten Tangerang, Camat Balaraja, dan seluruh kepala dinas terkait harus menjawab sorotan ini. Apakah anggaran Rp484 juta itu lebih penting dari menyelesaikan krisis sampah dan pengangguran? Apakah kenyamanan birokrat memang harus dibayar dengan penderitaan warga?
Masyarakat Balaraja kini menunggu tindakan nyata, bukan janji kosong. Kritik ini bukan sekadar ungkapan amarah, tapi refleksi dari keresahan rakyat yang merasa dikhianati oleh sistem. Pemkab Tangerang diminta membuka ruang dialog, memperbaiki sistem pengawasan, dan menjadikan transparansi sebagai fondasi kebijakan****
.
(Oim).