Mantv7.id | Tanjung Karang – Seorang warga bernama Maknoto mengajukan permohonan praperadilan terhadap Kepolisian Daerah (Polda) Lampung di Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Ia menggugat keputusan penghentian penyidikan (SP3) atas laporan dugaan penipuan yang pernah ia laporkan pada tahun lalu. Permohonan tersebut terdaftar dalam perkara nomor 11/Pid.Pra/2025/PN Tjk dan dijadwalkan untuk disidangkan pada Senin, 7 Juli 2025, pukul 10.00 WIB. Maknoto diwakili oleh tim kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Hefi Sanjaya & Partners.

Logo Hefi Sanjaya & Partners. (Foto:Mantv7.id)
Kasus bermula dari program pembebasan lahan proyek nasional Waduk Way Sekampung. Maknoto mengklaim mendapat ganti rugi sebesar Rp31 juta lebih dari pemerintah atas lahan seluas 784 meter persegi, yang dicairkan melalui rekening Bank Syariah Indonesia (BSI).
Namun, dalam prosesnya, Maknoto mengaku menjadi korban dugaan penipuan oleh seseorang bernama Hujairin. Uang senilai Rp15 juta lebih ditransfer ke rekening yang bersangkutan, ditambah uang tunai sebesar Rp500 ribu, dengan dalih pengurusan dana.
Maknoto sempat melayangkan dua kali somasi pada September 2024, tetapi tidak digubris. Ia lalu membuat laporan polisi ke Polda Lampung pada 14 September 2024. Anehnya, setelah lebih dari delapan bulan, laporan itu baru digelar perkaranya pada Juni 2025, tanpa melibatkan dirinya sebagai pelapor.
Selang beberapa hari setelah gelar perkara, terbit Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dari Polda Lampung. Keputusan inilah yang digugat Maknoto melalui mekanisme praperadilan. Ia menilai tidak ada penjelasan yang layak dari kepolisian, padahal kasusnya jelas berkaitan dengan dugaan penipuan dan penggelapan.
Kuasa hukum Maknoto menilai, SP3 tersebut cacat prosedur. Menurut mereka, alasan penghentian tidak memenuhi unsur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, karena perkara ini bukan termasuk “bukan tindak pidana” dan tidak bisa disebut “kurang bukti”.
Dalam permohonannya ke pengadilan, Maknoto meminta agar SP3 dinyatakan tidak sah, dan proses penyidikan dilanjutkan. Selain itu, ia juga menuntut ganti rugi senilai Rp25 juta, sebagai bentuk keadilan atas kerugian yang ia alami.

Foto Pimpinan Law Firm Hefi Sanjaya & Partners sekaligus Ketua Umum YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri), Hefi Irawan, S.H. (Foto: Mantv7)
Menanggapi perkara ini, Hefi Irawan, S.H., selaku Ketua Umum YLPK PERARI sekaligus kuasa hukum Maknoto, menyatakan bahwa gugatan ini penting untuk membela hak warga biasa. “Kalau kasus seperti ini dibiarkan, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada hukum. Ini bukan soal menang-kalah, tapi tentang keadilan. Kami ingin proses hukum berjalan benar,” ujarnya.

Logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Hefi juga menekankan bahwa praperadilan adalah jalur sah dan konstitusional untuk menilai apakah penghentian penyidikan dilakukan sesuai aturan. Ia berharap semua warga belajar dari kasus ini agar tidak takut menggunakan mekanisme hukum yang tersedia.
Menurutnya, pembiaran terhadap korban justru berbahaya. “Jika aparat tidak serius menangani laporan rakyat kecil, maka yang kuat akan terus menang, dan yang lemah akan terus tertindas. Negara harus hadir untuk semua,” tegasnya.
Sidang praperadilan dijadwalkan digelar di PN Tanjungkarang pada 7 Juli mendatang. Masyarakat diimbau untuk mengikuti perkembangan perkara ini sebagai bagian dari pembelajaran hukum dan kontrol sosial terhadap proses peradilan.
(RED)