Mantv7.id – Tigaraksa | Proyek pemeliharaan Kantor Kecamatan yang seharusnya menjadi simbol ketertiban dan profesionalisme kini malah jadi panggung pelanggaran terbuka. Diduga proyek bernilai lebih dari Rp160 juta itu dikerjakan tanpa kepatuhan pada standar keselamatan kerja. Para pekerja terlihat mengenakan celana pendek dan sandal jepit santuy seperti di pantai, bukan di area konstruksi.
Ironisnya, lokasi kerja bukan di perkampungan terpencil, tapi di jantung pelayanan masyarakat. Kantor Kecamatan Tigaraksa yang mestinya bersih, aman, dan nyaman bagi warga malah berubah menjadi ladang debu dan suara gerinda. Dugaan

Foto kantor Kecamatan Tigaraksa. (Foto: IST. Mantv7.id)
ketidakhadiran pembatas area kerja pun menambah panjang daftar kecerobohan.
Dugaan ini menimbulkan pertanyaan tajam: siapa kontraktornya? Benarkah berasal dari Kota Tangerang? Lalu ke mana para kontraktor lokal Tigaraksa? Apakah mereka tak layak? Tak bersertifikasi? Atau hanya kalah dalam permainan yang tak terlihat? Otonomi daerah seharusnya bukan sekadar slogan, melainkan prinsip distribusi keadilan ekonomi.
Yang lebih menyayat, ini bukan proyek pribadi. Ini proyek dari anggaran daerah, dari uang rakyat, dari pajak yang dipungut saban tahun. Artinya, ini bukan sekadar bangunan yang dikerjakan asal-asalan, tapi penghinaan terhadap kepercayaan publik yang diserahkan pada pemerintah daerah.
Dugaan kelalaian pengawasan internal dalam lingkup Kecamatan Tigaraksa menjadi sorotan. Bagaimana mungkin kegiatan pekerjaan tanpa APD, tanpa pagar kerja, bisa lolos tanpa teguran? Apakah fungsi pengawasan hanya berlaku saat inspeksi seremonial? Lalu di mana fungsi Camat sebagai penanggung jawab wilayah?
Satuan kerja yang memfasilitasi proyek ini juga patut dievaluasi keras. Proyek bernilai ratusan juta bukanlah angka kecil. Ada SOP, ada juknis, ada aturan Presiden lewat Perpres tentang pengadaan barang dan jasa. Semua itu diduga diabaikan. Ini bukan lagi lalai ini pembiaran yang sistemik.
Lebih jauh, dugaan absennya monitoring dan kontrol berkala dalam pelaksanaan proyek ini harus dibuka terang. Jika proyek kecil di jantung pemerintahan saja seperti ini, bagaimana proyek serupa di pelosok desa? Apakah juga menjadi ladang pembiaran? Atau sudah menjadi budaya?
Aspek pengawasan anggaran yang bersumber dari APBD juga menjerat pertanyaan. Apakah proses penyerapan anggaran sudah sesuai Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah? Ataukah ini hanya formalitas dokumen agar dana bisa cair cepat tanpa kejelasan eksekusi?
Konsekuensi dari kelalaian ini bukan hanya kualitas bangunan yang dipertaruhkan. Tapi kepercayaan masyarakat yang makin terkikis. Proyek yang dilakukan tanpa hati-hati adalah dosa birokrasi. Proyek yang tanpa pengawasan adalah kejahatan manajemen publik. Dan ini terjadi di pusat pelayanan masyarakat.
Dinas terkait yang menaungi infrastruktur dan tata kelola wilayah tak bisa menutup mata. Sub bidang pengawasan teknik sipil, perencanaan hingga pengadaan, semua harus bertanggung jawab. Ini bukan kesalahan satu-dua oknum. Ini sistem yang perlu dibedah dan dibenahi.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Buyung, Kabid Humas DPD YLPK PERARI Provinsi Banten menegaskan, “Proyek seperti ini seharusnya menjadi contoh, bukan jadi bahan tertawaan. Jika pelaksanaan saja serampangan, bagaimana dengan laporan pertanggungjawabannya nanti? Kami akan kawal dan pastikan semua ini dibuka ke publik.”
Rian, aktivis sosial Kabupaten Tangerang, mengkritik pedas, “Warga datang ke kantor kecamatan untuk dilayani, bukan disuguhi debu dan pekerja tanpa pelindung. Kalau pemda tak bisa awasi proyek di halamannya sendiri, jangan salahkan publik jika tak lagi percaya.”
Kini, harapan tertumpu pada Bupati dan Wakil Bupati Tangerang terpilih. Sudah waktunya membedah carut-marut proyek serupa yang terus berulang. Anggaran daerah bukan alat bancakan. Ini amanat publik. Dan publik tak akan diam.
Pelayanan publik yang baik bukan hanya soal administrasi, tapi juga etika dalam setiap pelaksanaannya. Ketika kantor pelayanan dibangun dengan semangat asal jadi, maka jangan heran jika pelayanan pada akhirnya juga jadi asal-asalan.
(OIM)