Mantv7.id | Kabupaten Tangerang — Di satu ruangan megah di Kantor Camat Kresek, para pejabat sibuk bicara soal ketahanan pangan. Dana Desa 2025 siap digelontorkan, pembagian hasil sudah dihitung, dan badan usaha desa didorong tampil di depan. Tapi di sisi lain, hanya beberapa ratus meter dari sana, sebuah rumah reyot tetap bocor, tetap lembab, tetap diabaikan. Warga di RT 10/03 Desa Kemuning barangkali tak mengerti apa itu “ketersediaan pangan” atau “pembagian hasil BUMDes”. Yang mereka tahu, malam ini genteng masih bocor, tikar masih basah, dan tak ada satu pun pejabat yang datang menengok. Bukan karena mereka tak pernah dengar. Sudah tiga kali berita ini tayang. Tapi telinga mereka, seolah tertutup kaca rapat.

Foto Dari Kantor yang Dingin Ber-AC, Mereka Biarkan Ibu Ami Tidur di Rumah Bocor. (Foto: Mantv7.id)
Ironis memang. Pemerintah bisa begitu semangat rapat demi “ketahanan pangan”, tapi tak mampu menengok satu rumah warga miskin. Di situlah muncul pertanyaan besar: mana yang lebih penting, presentasi di ruang ber-AC, atau lantai lembab yang diinjak bayi setiap malam?
Aktivis sosial Buyung E., yang mendampingi warga setempat, bicara tanpa basa-basi. “Kalau kepala desa dan perangkatnya tidak mampu bantu satu rumah rakyat miskin, untuk apa struktur desa dibentuk? Rakyat butuh atap, bukan slide PowerPoint.”

Foto Dari Kantor yang Dingin Ber-AC, Mereka Biarkan Ibu Ami Tidur di Rumah Bocor. (Foto: Mantv7.id)
Camat Kresek, Tatang Suryana, memang sudah menyebut pentingnya transparansi Dana Desa. Tapi kalau rumah rusak di tengah kampung bisa lolos dari perhatian, kita bisa bertanya: siapa sebenarnya yang diawasi? Atau jangan-jangan, pengawasan hanya untuk menertibkan dokumen, bukan untuk menyelamatkan manusia?

Foto Zarkasih yang dikenal dengan Rizal, Ketua DPD YLPK-PERARI Provinsi Banten
Zarkasih Ketua YLPK PERARI DPD Banten menyebut ini sebagai bentuk pembiaran terstruktur. “Kalau berita sudah tayang berulang, dan tidak ada tindak lanjut, itu bukan kelalaian. Itu kesengajaan. Ini sinyal bahwa sistem kita rusak sampai ke akarnya,” ujarnya geram.
Sayangnya, yang bergerak cepat justru proyek-proyek bergengsi. Program makan siang, distribusi bibit, pelatihan pertanian. Tapi bagaimana rakyat bisa makan tenang, kalau tidur saja masih diburu angin dan air hujan?
Karena itu, sorotan tajam mulai mengarah ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Tangerang. Di mana mereka saat satu rumah rakyat dibiarkan nyaris roboh? Bagaimana pembinaan dilakukan, kalau fakta di lapangan seperti ini bisa luput total?
Bukan hanya dinas, DPRD Kabupaten Tangerang juga harus turun tangan. Komisi yang membidangi desa dan kesejahteraan rakyat perlu menyentuh tanah, bukan sekadar membaca laporan. Kalau satu rumah bocor bisa diabaikan, bagaimana kita bisa percaya angka-angka di rapat paripurna?
Seluruh bidang, seksi, bagian, bahkan pendamping desa juga tak luput dari tanggung jawab. Mereka ada untuk rakyat, bukan hanya hadir saat verifikasi SPJ. Kalau semua diam, berarti mereka semua patut dipertanyakan: bekerja untuk siapa?

Foto Ibu Ami, suami dan anak di Kampung Sondol, RT 10/03 Desa Kemuning. Tinggal di rumah bocor bersama suami dan anaknya, keluarga ini hidup dari kerja serabutan. (Foto: Mantv7.id)
Nada yang sama juga datang dari Sekretaris Jenderal LMPI MAC Kresek, Otoy. Ia menyatakan dengan lantang bahwa masyarakat bukan sekadar angka statistik dalam laporan. “Kalau satu rumah rakyat dibiarkan bocor dan tak disentuh, itu bukan hanya kegagalan sistem, itu penghinaan terhadap nilai-nilai keadilan sosial. Kami di LMPI berdiri bukan hanya untuk melihat, tapi untuk bersuara dan mendesak tindakan nyata.”
Yang lebih menyedihkan, rumah itu bukan di ujung hutan. Letaknya di tengah kampung, mudah dijangkau. Jadi kalau ada yang bilang “kami belum tahu”, itu bukan alasan, tapi pengakuan bahwa mereka tak pernah turun ke bawah.
Dan jangan lupakan para pengawas eksternal Inspektorat, Ombudsman, BPKP. Mereka harus segera bergerak. Jangan sampai mereka hanya muncul saat laporan molor, tapi tak hadir saat rakyat menggigil di rumahnya sendiri.

Foto Buyung, Aktivis Sosial Kabupaten Tangerang. (Foto: IST. Mantv7.id)
“Pemimpin sejati bukan dia yang hadir di forum, tapi yang datang saat rakyatnya basah dan lapar,” ujar Buyung E. lagi. “Kalau semua sudah tahu tapi tetap diam, maka biarkan rakyat yang bicara lebih lantang dari sebelumnya.”
Tulisan ini disusun dengan semangat menjaga nurani publik, bukan untuk menjatuhkan siapa pun. Seluruh data diperoleh dari dokumentasi lapangan, pernyataan langsung narasumber, dan sumber terbuka. Kami tetap menjunjung asas praduga tak bersalah.
Jika tak ada tindakan setelah ini, maka sejarah yang akan bicara.
(OIM)