MANtv7.id – Kabupaten Tangerang | Pemerkosaan anak di bawah umur di Kampung Hauan, Desa Tobat, belum berujung keadilan. Pelaku belum ditahan, publik bertanya: siapa yang melindungi siapa? Kasus rudapaksa terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Kampung Hauan, Desa Tobat, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, hingga kini belum juga menemukan titik terang. Sejak laporan resmi dibuat pada 16 Desember 2024, pelaku yang diduga bernama Sugani, mantan karyawan PT EDS Manufacturing Indonesia (PEMI), masih bebas berkeliaran tanpa status DPO yang jelas dari pihak Polresta Tangerang.
Pertanyaan tajam pun mencuat di tengah masyarakat: mengapa aparat penegak hukum belum bertindak tegas? Jika alat bukti telah dianggap cukup, sebagaimana diungkap keluarga korban, lalu apa yang menghambat proses hukum? Dugaan pembiaran atau bahkan pengabaian terhadap keadilan bagi korban yang masih di bawah umur ini semakin menyesakkan publik.

Foto surat pemanggilan kelengkapan data korban. (Foto: Mantv.id)
Dugaan bahwa Sugani menerima pesangon pensiun dini dari PT PEMI sebelum proses hukum berjalan, menambah deretan kecurigaan publik. Apakah ini hanya kebetulan atau bagian dari pola sistematis yang patut ditelusuri lebih dalam? Penjelasan dari pihak perusahaan maupun kepolisian sejauh ini belum memuaskan desakan publik yang menuntut transparansi dan keadilan.
Kecaman keras juga diarahkan kepada PPA Kecamatan Balaraja yang dinilai pasif dalam mendampingi korban. Fungsi perlindungan anak tampak hanya sebatas slogan tanpa implementasi nyata. Lalu, ke mana Majelis Ulama Indonesia (MUI) Balaraja? Mengapa suara moral dan agamawan justru senyap dalam kasus yang menyayat ini?
Keterlibatan oknum Kepala Desa Tobat dalam upaya musyawarah damai diduga sebagai bentuk kompromi terhadap kejahatan seksual. Jika benar demikian, maka ini bukan hanya kelalaian, melainkan berpotensi melanggar Pasal 221 KUHP tentang menyembunyikan kejahatan, serta Pasal 294 KUHP tentang perbuatan cabul terhadap anak.
Sorotan publik juga mengarah pada Camat Balaraja serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Tangerang. Mengapa tidak ada respons cepat atau tindakan tegas? Di mana fungsi pengawasan dan evaluasi dari Bupati dan Wakil Bupati Tangerang? Apakah mereka akan terus diam di tengah jeritan warganya?

Kolase foto logo YLPK-PERARI & MANtv7. (Foto: MANtv7.id)
Dalam nuansa keislaman yang tegas, Ustad Ahmad Rustam, Kepala Kerohanian YLPK PERARI DPD Banten menyampaikan:
“Barang siapa menutup-nutupi kezaliman terhadap anak yatim dan kaum lemah, maka laknat Allah bersamanya. Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap anak. Maka, siapapun yang menghalangi keadilan atas nama perdamaian adalah perusak tatanan hukum dan agama.”
UU Nomor 23 Tahun 2002 yang diperbarui menjadi UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 80 ayat (1) dan (2), serta Pasal 81 ayat (1) dan (2), secara tegas mengatur ancaman pidana minimal 5 hingga maksimal 15 tahun bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Undang-undang ini wajib ditegakkan, bukan dinegosiasikan.
Keheningan yang menyelimuti ormas keagamaan dan lembaga sosial juga menyisakan luka. YLPAI Kabupaten Tangerang, ormas-ormas Islam, dan Lembaga Perlindungan Anak, ke mana semua suara itu pergi? Apakah nurani mereka sudah terbungkam oleh kepentingan atau kekuasaan?
Di tengah gelapnya sikap para pemangku kepentingan, keluarga korban menanggung luka mendalam secara psikologis, sosial, dan ekonomi. Sang ayah, seorang guru pesantren, telah bersuara lantang menuntut keadilan, namun suaranya seperti ditelan kabut ketidakpedulian.
Warga Desa Tobat dan Kecamatan Balaraja pun patut disorot. Di manakah kepedulian sosial? Mengapa membiarkan seorang anak kehilangan masa depan akibat kejahatan biadab tanpa ada tekanan kolektif kepada para penegak hukum?
Kini saatnya aparat hukum Polisi, Kejaksaan, dan Pengadilan turun tangan menyelesaikan perkara ini secara adil, terbuka, dan tanpa basa-basi. Jangan biarkan hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Bupati dan Wakil Bupati Tangerang wajib turun langsung memantau, bukan hanya memberi janji kosong.
Di tengah gelapnya kisah ini, masih tersisa harapan: bahwa keadilan belum sepenuhnya mati di negeri ini. Bahwa air mata seorang anak dan jeritan seorang ayah akan menggugah nurani bangsa. Keadilan tidak boleh dibarter dengan musyawarah semu atau perlindungan berbasis kekuasaan.
Kebenaran harus ditegakkan, hukum harus dijalankan, dan siapa pun yang bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
(OIM)