Mantv7.id | Indonesia – Ada satu bait lagu lama yang belakangan ini kembali terngiang di telinga banyak orang:
“Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati, air matanya berlinang, mas intannya terkenang…”. Bait itu seolah benar-benar hidup di hadapan kita. Coba lihat sekeliling. Hutan yang dulu hijau kini penuh luka seperti kulit yang dikerat. Gunung yang dulu tegap kini bopak seperti kepala botak. Sungai yang dulu mengalir bening sekarang keruh dan berbau. Ibu Pertiwi sedang menangis. Tapi kita? Kita masih juga membisu, seolah tak mendengar tangisnya. Setiap hari ada saja berita tentang hutan yang ditebang, tambang yang digali, atau sungai yang dipenuhi limbah. Katanya ada program pelestarian, katanya ada pengawasan, tapi faktanya alam terus sekarat.
Bahkan Iwan Fals sejak puluhan tahun lalu sudah menegur lewat lagunya “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi.” Katanya, “Lestarikan alam hanya celoteh belaka, lestarikan alam mengapa tidak dari dulu saja.” Dan benar, sampai hari ini celoteh itu masih jadi kebiasaan kita: banyak bicara, sedikit kerja.

Ilustrasi gambar Ibu Pertiwi memanggil kita ingin memperlihatkan bahwa sedang menangis dan berdoa sambil menceritakan tentang hutan, gunung, sawah, lautan simpanannya kekayaan. Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa. (Foto: IST. Mantv7.id)
Padahal Allah sudah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an. “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya,” (QS. Al-A’raf: 56). Bukan perintah yang rumit. Sederhana saja: jangan merusak. Tapi nyatanya kita malah berlomba-lomba merusak, entah dengan alasan pembangunan, bisnis, atau sekadar ikut-ikutan.
Rasulullah SAW juga sudah bilang dengan tegas, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban.” Bahkan ada hadis lain yang lebih keras: “Barang siapa menebang pohon tanpa alasan yang benar, maka Allah akan menjungkirbalikkannya ke neraka.” (HR. Ahmad). Satu pohon saja bisa menyeret kita ke neraka, apalagi berjuta-juta pohon yang sudah habis kita telanjangi.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
Ustad Ahmad Rustam, aktivis kerohanian dan sosial, bicara dengan nada yang tak bisa kita abaikan. “Jangan kira kerusakan alam ini sekadar urusan dunia. Setiap pohon yang ditebang sembarangan, setiap sungai yang dirusak, akan menjadi saksi yang menggugat manusia di hadapan Allah. Ini dosa besar,” tegasnya.
Ia juga bilang bencana yang datang bertubi-tubi bukan kebetulan. “Banjir, longsor, tanah retak, itu semua teguran langit. Allah sedang mengingatkan kita. Kalau kita masih pura-pura tuli, bersiaplah. Teguran akan berubah jadi azab yang lebih berat,” kata Ustad Ahmad Rustam, matanya tampak penuh keprihatinan.

Logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Senada dengan itu, Aminudin Al Ikhlasi, Humas DPD YLPK Perari Provinsi Banten, juga menegaskan pentingnya hukum ditegakkan. “Jangan biarkan hukum cuma jadi pajangan. Kalau ada dugaan perusakan lingkungan, siapa pun pelakunya harus diproses. Ini bukan soal proyek, ini soal masa depan anak cucu kita,” katanya tegas.
Ia juga mengingatkan pahala besar dari menanam pohon. “Setiap daun yang dimakan makhluk hidup dari pohon yang kita tanam akan jadi sedekah. Jadi kalau kita merusaknya, itu sama saja menutup pintu sedekah dan membuka pintu dosa,” ujar Aminudin.

Foto Aminudin Al Ikhlasi, Humas DPD YLPK Perari Provinsi Banten. (Foto: Mantv7.id)
Yang lebih menyedihkan, kita semua sebenarnya ikut bersalah. Ya, kita semua. Kita marah saat banjir masuk rumah, tapi jarang bertanya berapa banyak sampah yang kita buang sembarangan hari ini. Kita murka kalau tanah kita dirampas, tapi kita diam saja saat hutan negeri ini dirampok sedikit demi sedikit. Ibu Pertiwi menangis bukan hanya karena pejabat serakah, tapi juga karena rakyatnya yang memilih diam.
Pemerintah pun tak bisa hanya pasang spanduk bertuliskan “Selamatkan Lingkungan” atau pidato panjang lebar di acara-acara seremonial. Hukum harus benar-benar ditegakkan. Kalau terus dibiarkan longgar, kita sama saja sedang menggali kubur untuk generasi kita sendiri.
Dan kita semua, mulai dari sekarang, harus berhenti hanya bicara. Tanamlah pohon walau satu. Jangan buang sampah sembarangan. Jangan takut menegur atau bersuara kalau ada perusakan alam di depan mata. Karena seperti kata Ustad Ahmad Rustam, “Menjaga bumi itu bagian dari ibadah.”
Momen emosional terjadi saat (alm) Lord Rangga tak kuasa menahan air mata ketika menyanyikan lagu “Ibu Pertiwi” di sebuah podcast yang dibagikan berbagai akun tiktok. Tangisnya pecah saat menyanyikan bait “Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati…”, seolah mewakili jeritan alam yang terus dirusak.
Air mata itu menjadi simbol kepedulian sebuah tamparan moral bagi kita semua. Pertanyaannya: jika Lord Rangga saja menangis untuk bumi, mengapa kita masih diam?
Kalau kita tetap diam, kalau kita masih pura-pura tak peduli, percayalah… sejarah akan mencatat generasi kita sebagai generasi paling pengecut. Generasi yang membiarkan Ibu Pertiwi terus menangis dan rimba kehilangan tempat berpijaknya.
Menjaga bumi adalah ibadah, bagian dari iman. Mulailah dari hal kecil, dan beranilah bersuara.
REDAKSI | OIM