Mantv7.id | Kabupaten Tangerang – Jika kebersihan adalah sebagian dari iman, maka barangkali Kecamatan Balaraja sedang kehilangan akal sehat birokrasi. Tumpukan sampah di fly over dan Jalan Baru Sentiong bukan lagi sekadar persoalan teknis, tapi refleksi nyata dari sistem pengawasan yang nyaris ambruk. Ketika aparatur sipil negara yang digaji dari pajak rakyat enggan turun ke lapangan, maka publik wajar mempertanyakan integritasnya.
Fakta di lapangan menyebutkan bahwa surat edaran dan surat penunjukan pengawasan kebersihan untuk kawasan strategis Balaraja sudah diterbitkan. Namun, yang berjalan tampaknya hanya suratnya bukan pelaksanaannya. Muncul dugaan dari warga bahwa penugasan tersebut hanya menjadi formalitas agar anggaran tetap mengalir, sementara tumpukan sampah makin hari justru makin membusuk.
Fly over dan sisi-sisi jalan yang dulunya diharapkan menjadi wajah modernitas, kini berubah menjadi cermin kemunduran. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Camat? Kepala desa? UPT 2 DLHK? Masyarakat belum melihat gerak nyata, hanya diam dan saling lempar tanggung jawab seolah berharap warga segera lupa.
Ironisnya, sampah yang dibiarkan menggunung itu kini seolah menjadi simbol kegagalan tata kelola. Sejumlah ASN terkesan lebih rajin hadir di rapat daripada menyaksikan langsung realita di lapangan. Jika dibiarkan, ini bisa dilihat sebagai bentuk kelalaian terhadap tugas dan fungsi utama sebagai pelayan publik.
Ceklist pengawasan? Evaluasi berkala? Monitoring mingguan? Semua itu terdengar indah dalam dokumen, namun di lapangan hanya menyisakan bau busuk, lalat, dan kekhawatiran terhadap ancaman penyakit. Rakyat tidak hidup dalam laporan, mereka hidup dalam realita.
Sejumlah titik kini menjadi representasi stagnasi birokrasi: Fly Over Balaraja, depan tanah Midong, pemancingan Ko Iing, pabrik sabun, makam Kramat, makam Salak, dan jalan irigasi Kampung Bakung. Warga menyaksikan sendiri degradasi yang seolah disengaja lewat lemahnya pengawasan dan pengangkutan.
Rakyat dipungut retribusi antara Rp25.000 hingga Rp35.000 per bulan. Namun, hak atas lingkungan bersih justru terkubur bersama sampah. Ironinya, yang rajin membayar hanya bisa menikmati halaman bersih di rumah sendiri, sementara jalan umum ruang hidup bersama justru menjadi neraka aroma busuk.
Ketimpangan ini bukan semata soal teknis operasional, melainkan telah menyentuh ranah keadilan dan martabat pelayanan publik. Sesekali memang ada kegiatan bersih-bersih, tapi sebagian warga mencurigai itu hanya muncul saat kamera menyala dan pejabat siap berpose. Setelah itu? Hilang jejaknya.

Foto Buyung, Fly Over Balaraja Jadi Titik Kumpul Sampah: Surat Edaran dan Penunjukan Pengawasan Sudah Terbit, Tapi Jalanan Justru Dibiarkan Tenggelam dalam Bau Busuk). (Foto
“Kami menduga ada pembiaran sistematis dalam pengawasan dan pengangkutan sampah. Rakyat dipungut retribusi, tapi hak dasarnya justru diabaikan. Ini bukan sekadar soal kebersihan, ini persoalan moral dan tanggung jawab aparatur,” ujar Buyung, Kabid Humas YLPK PERARI DPD Banten, saat ditemui tim Mantv7.id di lokasi.
ASN/PNS yang tidak aktif di lapangan, yang hanya mengandalkan laporan dan kehadiran administratif, dikhawatirkan menjadi bagian dari sistem yang stagnan. Mereka menikmati fasilitas dan gaji dari rakyat, tapi minim kontribusi nyata di lapangan.
Mereka punya kendaraan dinas, perangkat kerja, dan kewenangan. Tapi saat warga mengeluh tentang bau busuk dan potensi penyakit, yang terdengar hanya jawaban: “Akan kami evaluasi.” Kalimat yang terdengar manis, tapi terlalu sering tak berujung tindak lanjut.
“Kebersihan adalah bagian dari keimanan. Jika lingkungan saja dibiarkan kotor, bagaimana mungkin kita bicara pembangunan spiritual dan sosial? Ini bukan sekadar kelalaian teknis, ini kemunduran nurani,” tegas Ustaz Ahmad Rustam, tokoh kerohanian Balaraja yang menyuarakan kegelisahan masyarakat.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
Hari ini, rakyat Balaraja tidak sedang menuntut hal muluk. Mereka hanya ingin lingkungan yang bersih dan pelayanan publik yang tidak mengingkari mandatnya. Sayangnya, birokrasi justru kerap bersembunyi di balik meja, menjauh dari realita.
Jika aparatur pemerintah adalah pelayan rakyat, maka membiarkan rakyat hidup dalam tumpukan sampah adalah tanda bahwa pelayannya tertidur. Dan yang lebih menyakitkan, tidur panjang itu dibayar mahal oleh rakyat sendiri.
(OIM|Mantv7.id)