Mantv7.id | Kabupaten Tangerang — Sabtu malam, 28 Juni 2025, langit Jayanti dipenuhi cahaya panggung dan dentuman musik. Festival Jayanti Night Festival III di halaman PT Mayora Jayanti berlangsung meriah, penuh tepuk tangan dan sorak-sorai. Namun tak jauh dari keramaian itu, satu rumah masih sunyi bukan karena tidur, tapi karena duka. Beberapa hari sebelumnya, seorang karyawan muda PT Mayora dilaporkan tewas mengenaskan saat bekerja. Menurut kesaksian warga dan pemberitaan media, korban diduga terjepit lift saat bertugas. Ia belum genap 30 tahun. Ia pulang bukan dalam senyum, tapi dalam peti kayu. Diiringi tangis, bukan tepuk tangan. Dan yang lebih menyayat: pesta tetap digelar. Di mana empati perusahaan? Di mana rasa malu? Atau memang sistem kerja kita sudah kehilangan rasa manusia?
Pernyataan Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang yang menyebut pengawasan K3 adalah urusan provinsi terdengar seperti lempar handuk. Publik bertanya: kalau semua bukan tanggung jawab kabupaten, untuk apa ada bidang dan seksi K3 di sana? Untuk tanda tangan acara saja?

Suasana kemeriahan acara Festival Jayanti Night Festival III di halaman PT Mayora Jayanti. (Foto: Mantv7.id)
Di saat satu nyawa melayang, yang terdengar justru dalih birokrasi, bukan langkah konkret. Disnaker Provinsi pun diam seribu bahasa. Katanya punya seksi pengawas, evaluasi, hingga penindakan tapi apakah mereka tahu arah jalan ke TKP? Atau sibuk di forum seminar sambil menyeruput kopi hotel?
Camat Jayanti pemimpin wilayah tempat korban bekerja dan meninggal seakan tak bersuara. Padahal nyawa itu gugur di bawah wilayah kekuasaannya. Tapi tampaknya, potong pita dan hadir di konser lebih “nyaman” ketimbang turun ke rumah duka.
Kepala Desa Cibugel, yang saban tahun membantu pendataan domisili buruh dan memfasilitasi izin perusahaan, juga diam. Apakah suara keadilan sudah cukup dibungkam oleh CSR tahunan?
Di internal perusahaan, publik juga bertanya: di mana pengawas K3? Di mana engineering, teknisi, dan penanggung jawab operasional lift? Apakah alat kerja diuji? Apakah SOP hanya tempelan di dinding tanpa nyawa di dalamnya?

Foto Buyung, Humas DPD YLPK PERARI Banten. (Foto: IST. Mantv7.id)
Buyung, Humas DPD YLPK PERARI Banten, menegaskan bahwa sikap perusahaan menggelar hiburan saat keluarga korban masih berkabung adalah bukti kehilangan empati sistemik. “Ini bukan sekadar soal konser. Ini soal martabat pekerja. Kalau nyawa buruh hanya seharga panggung dan musik, maka ada yang sangat busuk dalam sistem ini,” ujarnya.
BPJS Ketenagakerjaan pun disorot. Bukan hanya karena soal klaim, tapi soal tanggung jawab. Jika hanya bisa cairkan santunan tanpa investigasi serius, lalu apa bedanya dengan asuransi toko swalayan?
Polsek Jayanti pun diminta bertindak proaktif. Proses penyelidikan teknis atas insiden ini penting untuk dilakukan secara menyeluruh dari kelayakan alat, SOP operasional, hingga tanggung jawab lapangan.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
Ustad Ahmad Rustam, tokoh kerohanian juga sebagai aktivis sosial, turut mengecam keras: “Kalau panggung hiburan bisa tetap berdiri saat tanah kubur masih basah, maka bukan hanya pekerja yang mati tapi juga nurani semua pihak yang memilih tutup mata.”

Kolase foto logo YLPK-PERARI & MANtv7. (Foto: MANtv7.id)
YLPK PERARI dan Mantv7.id menyerukan kepada seluruh media, ormas, LSM, aktivis, dan lembaga sosial untuk bersama-sama mengawal kasus ini. Jangan biarkan kematian buruh jadi rutinitas yang dilupakan. Ini bukan angka ini soal nyawa.
Sampai berita ini dirilis, PT Mayora Jayanti belum memberikan klarifikasi resmi ke publik.
Hari ini korban bernama ALS. Besok bisa siapa saja. Mungkin anak kita. Mungkin saudara kita. Dan selama kita diam, sistem yang abai akan terus hidup dan terus membunuh.
(RED)