Mantv7.id | Kabupaten Tangerang – Dunia jurnalistik hari ini seperti memikul beban ganda. Di satu sisi, ia bertarung melawan derasnya arus hoaks dan tekanan politik. Tapi di sisi lain, ada luka yang justru datang dari dalam: wartawan yang saling menjatuhkan sesama. Fenomena ini bukan lagi desas-desus. Ada wartawan yang membentuk grup-grup khusus bersama aparat di wilayahnya, tapi hanya mengundang mereka yang jinak, yang tidak ribut soal penyimpangan. Wartawan yang kritis? Ditinggalkan. Dicoret. Bahkan dikucilkan. Alasannya sederhana: “Biar nggak ganggu hubungan baik.”
Lucunya, yang bungkam saat ada kejanggalan justru rajin bicara soal integritas. Sementara yang berani bersuara malah dianggap merusak citra wilayah. Lebih parah lagi, ada juga yang menjadikan kesalahan masa lalu rekan seprofesi sebagai bahan gosip abadi dihidupkan ulang, diulang-ulang, sampai basi pun masih diputar kembali.
Dalam Islam, perilaku semacam ini bukan hal ringan. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah kalian saling membenci dan saling mendengki. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari-Muslim). Maka kalau sesama jurnalis saja saling menyakiti, bagaimana mungkin mau menyuarakan kebenaran?
Sayangnya, beberapa justru memilih diam ketika yang salah adalah “orang sendiri”. Mereka takut kehilangan relasi. Takut kehilangan akses. Padahal Nabi juga bersabda, “Barang siapa melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangan. Jika tak mampu, maka dengan lisan. Jika tak mampu juga, cukup dengan hati dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Ilustrasi gambar menjelaskan bahwa pena adalah Pena adalah cahaya, bukan senjata. Ia menerangi, bukan membakar. Tapi di tangan yang salah, pena bisa berubah jadi alat tajam untuk menikam saudara sendiri. Dan ketika itu terjadi, maka profesi ini kehilangan ruhnya. (Foto: IST. Mantv7.id)
Kode Etik Jurnalistik pun tak kalah tegas. Wartawan dilarang menerima suap, wajib memverifikasi informasi, menjaga hak jawab, dan tidak menyebarkan fitnah atau kebohongan. Tapi anehnya, yang melanggar ini bukan wartawan bodoh justru yang merasa paling paham etika.
Beberapa muncul sebagai “pahlawan kesiangan” saat isu sudah panas. Mereka hadir dengan berita tandingan, seolah ingin menetralisir kebenaran. Mirip dalang yang datang setelah panggung digelar, tapi malah mengacak-acak naskah.
Ustadz Ahmad Rustam, pengasuh Majelis juga aktivis Kerohanian Kabupaten Tangerang, angkat suara. “Kalau pena digunakan bukan untuk menegakkan kebenaran, tapi menjatuhkan saudara sendiri, itu bukan lagi amanah. Itu jadi racun,” ucapnya saat diwawancarai tim kami.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
Beliau menambahkan, “Saya mengajak wartawan Muslim untuk kembali pada nilai Islam. Jangan jadikan profesi ini kendaraan ego. Wartawan yang baik itu tidak membungkam rekan yang kritis, dan tidak menyalakan api hanya karena iri.”
Semua ini harus jadi cermin. Wartawan tidak diukur dari seberapa galak dia bicara, atau seberapa sering muncul di forum. Tapi seberapa jujur dia bertahan di jalur kebenaran, bahkan ketika harus sendiri.
Pena adalah cahaya, bukan senjata. Ia menerangi, bukan membakar. Tapi di tangan yang salah, pena bisa berubah jadi alat tajam untuk menikam saudara sendiri. Dan ketika itu terjadi, maka profesi ini kehilangan ruhnya.
Wartawan sejati tak sibuk mencari panggung. Ia cukup menulis dengan hati. Biar waktu dan publik yang menilai. Karena yang jujur tak butuh tepuk tangan cukup ridha Allah dan suara nurani.
(RED)