Banten, MANtv.id – Dilansir oleh media kupasmerdeka.com 11 Mei 2025 dugaan keterlibatan oknum penyidik Polda Banten dalam praktik penagihan leasing secara ilegal kembali mencoreng citra institusi kepolisian. Hal ini mencuat setelah seorang debitur mengaku mendapat panggilan dari kepolisian dan diminta menghadirkan unit kendaraannya yang sedang menunggak angsuran. Permintaan itu disampaikan seolah-olah kendaraan harus diserahkan langsung kepada pihak leasing, tanpa proses hukum yang sah.
“Penyidik menyuruh saya bawa kendaraan ke Polda. Katanya harus diserahkan ke leasing. Saya bingung, ini aparat hukum atau debt collector?” ujar Wahid (nama disamarkan), seorang debitur, kepada wartawan pada Minggu (11/5/2025).
Merespons hal ini, Divisi Hukum YAPERMA Pusat melalui Ujang Kosasih menyampaikan kecaman keras. Ia menilai tindakan tersebut sebagai penyalahgunaan wewenang yang melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Polri, khususnya Pasal 5 huruf h dan i, yang melarang anggota Polri terlibat dalam urusan utang-piutang maupun membekingi penagih utang.
“Kalau benar demikian, ini bentuk pelanggaran berat. Polisi bukan alat paksa leasing. Tugasnya melindungi masyarakat, bukan menjadi matel,” tegas Ujang Kosasih.
Ia menambahkan, tindakan seperti itu seharusnya menjadi perhatian Propam dan bisa diusulkan Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) jika terbukti melanggar.
Sementara itu, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021 menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia hanya bisa dilakukan melalui putusan pengadilan. Kreditur atau leasing dilarang menarik kendaraan secara sepihak jika debitur tidak menyetujui, dan polisi tidak berwenang bertindak sebagai eksekutor.
“Proses eksekusi itu domain hukum perdata. Polisi bisa dilibatkan hanya untuk pengamanan jika diminta pengadilan, bukan atas permintaan leasing,” tegas Ujang.

Kolase foto logo YLPK-PERARI & MANtv7. (Foto: MANtv7.id)
Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin, juga menyampaikan kekecewaannya atas dugaan keterlibatan aparat dalam praktik seperti ini.
“Penegak hukum seharusnya berpihak pada rakyat, bukan menjadi bagian dari masalah yang menindas. Jika terbukti, tidak cukup dengan sanksi internal – harus ada proses hukum terbuka dan akuntabel,” ujar Siarruddin.
Ia juga mendesak Kapolda Banten dan Kapolri untuk mengambil langkah tegas dengan memeriksa oknum yang bersangkutan beserta atasan langsungnya jika terbukti melakukan pembiaran.
YLPK PERARI meminta pengawasan ketat dari Propam dan Itwasum Polri, serta mendorong partisipasi masyarakat sipil untuk ikut mengawasi praktik penegakan hukum agar tidak menyimpang dari prinsip profesionalitas dan keadilan.
“Hukum tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jangan biarkan hukum menjadi alat legalisasi pemerasan,” tutup Siarruddin.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak Humas Polda Banten belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan ini. Redaksi masih terus berupaya menghubungi untuk mendapatkan konfirmasi.
(OIM)