Menu

Dark Mode

Menu

Dark Mode

Hukum

Drama Mutasi Berujung PHK, PT. Steril Medical Indonesia Digugat Ratusan Juta, Dugaan Pelanggaran Hak Pekerja Mengemuka

badge-check


					Gambar Foto Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta Pusat. (Foto: IST. Mantv7.id) Perbesar

Gambar Foto Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta Pusat. (Foto: IST. Mantv7.id)

 

Mantv7.id – Jakarta | Gugatan yang dilayangkan Williansyah terhadap PT. Steril Medical Indonesia membuka tabir kelam hubungan industrial yang sarat dugaan pelanggaran prosedur. Perkara ini telah masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta Pusat sejak Rabu, 21 Mei 2025. Penggugat menyebut mutasi sepihak dan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukannya sebagai bentuk pengingkaran terhadap hukum dan nilai-nilai keadilan ketenagakerjaan di Indonesia.

Kronologi bermula dari mutasi sepihak yang dilakukan Tergugat, memindahkan WL dari Tangerang ke Pekanbaru pada 20 Juni 2023. Penggugat menolak, dengan alasan tidak adanya pemberitahuan layak, pelanggaran prosedur, serta ketidaksiapan finansial untuk berpindah domisili. Dalam narasi yang berkembang, mutasi ini diduga merupakan strategi halus untuk mendorong pengunduran diri.

Ketika Penggugat menolak mutasi, justru muncul surat panggilan Bipartit yang tidak pernah diterima langsung. Bukannya menyelesaikan masalah, langkah ini malah membuka ruang kecurigaan tentang adanya praktik manajemen sumber daya manusia yang manipulatif. Surat-surat itu seolah hanya formalitas di atas kertas, tanpa semangat dialog atau itikad baik dari pihak Tergugat.

Mediasi yang diajukan ke Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Barat juga berakhir buntu. Pada 11 Oktober 2023, mediasi Tripartit berlangsung tanpa hasil. Dalam benak publik, muncul pertanyaan: apakah mekanisme perlindungan pekerja di negeri ini hanya sebatas teks dalam pasal-pasal yang tidak dipatuhi?

Kuasa hukum dari Law Firm Nur Mawardi & Yanuar Setiawan menegaskan bahwa tindakan Tergugat melanggar Pasal 32 dan Pasal 151 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penempatan kerja harus adil, terbuka, dan tidak diskriminatif. PHK harus dirundingkan secara sah antara pengusaha dan buruh. Lalu, siapa yang bertanggung jawab saat peraturan hanya jadi slogan kosong?

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)

Ustad Ahmad Rustam, Kepala Kerohanian DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, angkat suara tegas. “Dalam Islam, berlaku zalim kepada pekerja adalah dosa besar. Orang yang mempermainkan nasib sesama demi kepentingan bisnis akan ditanya di hadapan Allah. Negara harus hadir, dan hukum harus tajam ke atas, bukan hanya tajam ke yang lemah,” ujarnya.

Ustad Rustam juga menekankan bahwa setiap bentuk manipulasi terhadap hak pekerja adalah kezaliman struktural. “Jangan jadikan pekerja sebagai tumbal ketidakmampuan manajemen. Jika perusahaan beretika, seharusnya mengikuti proses hukum dan musyawarah, bukan memainkan akal-akalan mutasi dan PHK,” tambahnya.

Kasus ini mencerminkan dugaan buruknya sistem pengawasan dari instansi terkait. Di mana peran Dinas Tenaga Kerja Provinsi DKI Jakarta dan Kota Jakarta Barat? Mengapa laporan berulang tidak menghasilkan intervensi serius? Apakah birokrasi sibuk rapat dan lupa fungsi pengawasan?

Pemerintah daerah dan aparat pengawas ketenagakerjaan perlu disoroti. Jangan sampai dugaan pelanggaran hak pekerja seperti ini dibiarkan menjadi preseden berulang. Jika lembaga pengawas hanya berfungsi pasif, lalu siapa yang melindungi rakyat dari pengusaha yang sewenang-wenang?

Tidak hanya itu, YLPK PERARI menghimbau agar seluruh pihak, terutama Tergugat, mematuhi hasil pengadilan dan menghormati hak buruh. Hukum ada bukan hanya untuk dibaca, tetapi ditegakkan. Karyawan adalah aset, bukan objek eksperimen.

Bila terbukti bersalah, pihak Tergugat berpotensi dikenai sanksi pidana dan perdata. Berdasarkan Pasal 90 dan Pasal 185 UU Nomor 13 Tahun 2003, pengusaha yang tidak membayar hak-hak pekerja dapat dikenai pidana penjara maksimal 4 tahun dan denda hingga Rp400 juta. Sebuah harga yang mahal untuk keserakahan yang dibungkus profesionalisme.

Persidangan ini akan menjadi penentu: apakah keadilan masih bisa ditegakkan di tengah tekanan kekuasaan modal? Atau apakah lagi-lagi hukum tunduk pada kekuatan finansial? Semua mata tertuju pada putusan Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat.

Dalam semangat keadilan dan perlindungan konsumen yang bermartabat, YLPK PERARI meminta kepada Presiden, Menteri Ketenagakerjaan, dan seluruh aparat hukum agar menjadikan kasus ini sebagai refleksi: bahwa pekerja bukan alat, tetapi manusia dengan hak. Negara tak boleh kalah oleh kelicikan korporasi.

(OIM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Skandal Balai Warga Rp100 Juta: Seratus Juta Cuma Buat Plafon dan lantai? Camat dan Kades Saga Jangan-Jangan Jago Akrobat Anggaran!

22 July 2025 - 08:30 WIB

Keadilan Rasa Diskon: Rp125 Juta Bolak-balik dan Maryadi di Kursi Pesakitan, Tapi Siapa Sebenarnya yang Bermain?

22 July 2025 - 07:28 WIB

RTLH Asal Jadi di Solear: Rumah Miring, Hati Pejabat Juga Ternyata Miring?

22 July 2025 - 06:27 WIB

Tangisan Balita Tumor di Kronjo: Lalainya Nurani Pejabat, Laporan Kertas Cantik Ternyata Tak Bisa Beli Ongkos Berobat

21 July 2025 - 06:05 WIB

Jembatan Mangkrak: Pejabat Diam, Rakyat Bertaruh Nyawa – “Begawi Jejama” Katanya?

21 July 2025 - 05:48 WIB

Trending on Daerah