Mantv7.id – Kabupaten Tangerang | Proyek pembangunan sarana sanitasi pondok pesantren (SANITREN) di Pondok Pesantren Al Barokah, Desa Cireundeu, Kecamatan Solear, Kabupaten Tangerang, kembali menuai sorotan tajam. Fakta di lapangan hingga Mei 2025 menunjukkan proyek ini mangkrak tanpa papan informasi dan minim pengawasan. Hal ini menimbulkan dugaan kuat adanya pelanggaran terhadap prinsip transparansi dalam pelaksanaan anggaran, terlebih jika proyek ini menggunakan dana publik.
Siapa pelaksana proyek ini? Dari mana sumber anggarannya? Mengapa tidak ada sosialisasi kepada pihak pesantren dan masyarakat sekitar? Dugaan bahwa proyek ini berpotensi menjadi “proyek siluman” mencuat lantaran hingga kini tidak ada satu pun pejabat atau instansi terkait yang memberikan klarifikasi terbuka. Bahkan setelah pemberitaan pertama muncul di media lain, semua pihak tampak memilih diam.
Dalam investigasi lapangan oleh tim redaksi, ditemukan bangunan setengah jadi yang tidak dilengkapi aliran air bersih dan ditinggalkan dalam kondisi terbengkalai. Warga sekitar, termasuk pengurus pondok, mengaku tidak pernah dilibatkan atau diberi informasi. “Saya tidak tahu proyek ini dari mana, tidak ada pemberitahuan resmi,” ungkap Ustadz Hapip, pengasuh pondok, dalam keterangannya.
Ketidakhadiran papan proyek yang menjadi syarat utama dalam pelaksanaan konstruksi sebagaimana diatur dalam Permen PUPR No. 12 Tahun 2021, menjadi sinyal kuat adanya dugaan pelanggaran administratif. Jika benar proyek ini bersumber dari APBD, maka diamnya Dinas Perkim, Dinas PUPR, dan Inspektorat Kabupaten Tangerang patut dipertanyakan. Mengapa tidak ada satupun yang turun ke lapangan?
Lebih jauh lagi, dugaan pelanggaran terhadap UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan PP No. 43 Tahun 2018 semakin kuat, karena masyarakat tidak diberi akses terhadap informasi proyek. Padahal, dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa setiap kegiatan pembangunan yang dibiayai negara wajib dapat diakses publik, terutama warga terdampak langsung.
Keadaan makin miris ketika diketahui bahwa pekerja di proyek tersebut tidak dibekali perlengkapan keselamatan kerja standar. Ini diduga telah melanggar UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, karena para pekerja hanya mengenakan sandal jepit dan celana pendek. Siapa pengawas proyek ini? Mengapa tidak ada kontrol terhadap aspek keselamatan?
Dugaan bahwa proyek ini sekadar formalitas untuk menyerap anggaran tanpa memperhatikan kebermanfaatan jangka panjang mulai menjadi isu hangat di masyarakat. Kritik keras pun diarahkan pada Dinas Kesehatan, Dinas Perkim, Dinas PUPR, dan Inspektorat Kabupaten Tangerang, serta Camat, Kepala Desa, dan DPRD setempat yang terkesan tidak peka.

Foto Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
Siarruddin, Humas Umum YLPK PERARI, angkat bicara. Dalam pernyataan tegasnya, ia menyatakan: “Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap pengelolaan dana publik yang tidak transparan, apalagi dilakukan tanpa izin pemilik lahan atau institusi penerima manfaat, berpotensi masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang, bahkan korupsi.”
Ia menambahkan, “Negara hadir untuk melindungi hak publik, termasuk hak santri atas sanitasi yang layak. Bila proyek ini sengaja dibiarkan mangkrak dan tidak jelas pelaksana serta pengawasnya, maka kami dari YLPK PERARI mendesak Kejaksaan Negeri, BPK, dan aparat penegak hukum lainnya untuk menyelidiki lebih dalam.”

Kolase foto logo YLPK-PERARI & MANtv7. (Foto: MANtv7.id)
Pernyataan ini selaras dengan prinsip good governance dan semangat transparansi publik. Ustadz Ahmad Rustam, aktivis kerohanian dan anggota DPD YLPK PERARI, juga menyoroti sisi etika pembangunan pesantren. “Jika nama pesantren hanya dijadikan tameng untuk menguras anggaran, ini cacat secara akhlak dan hukum. Tidak ada berkah dari proyek semacam ini,” tegasnya.
Beliau menegaskan pentingnya nilai al-amānah dalam Islam. “Kalau bicara pesantren, maka harus bicara amanah. Kalau tidak ada koordinasi dengan pengurus pondok, tidak ada papan proyek, dan tidak ada kejelasan penggunaan anggaran, maka kita wajib curiga dan bertindak. Ini bukan soal proyek, tapi soal etika publik.”
Masyarakat kini menunggu ketegasan Bupati Tangerang dan Wakil Bupati yang baru terpilih. Sudah saatnya kepala daerah turun langsung, bukan hanya menerima laporan dari dinas. Begitu pula Kepala Desa Cireundeu dan Camat Solear, jangan hanya jadi penonton. Ini waktunya menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dan umat.
Jangan biarkan proyek-proyek atas nama umat menjadi ruang gelap yang tak tersentuh hukum. Rakyat tak butuh janji, mereka butuh kejelasan. Jika proyek sanitren ini hanyalah puncak gunung es dari tata kelola yang rusak, maka ini saatnya revolusi integritas dimulai bukan dari istana, tapi dari pondok, dari desa, dari kita semua.
(OIM)