Menu

Dark Mode
PT Marta Berdikari Nusantara Santai Buka Lowongan, Buruh Lama Masih Menjerit Keadilan Diam Itu Emas, Wartawan Yang Baik Juga Beretika Tahu Kapan Bicara dan Kapan Menahan Kata Pembangunan GOR Mini Sukamulya Diduga Abaikan Keselamatan Kerja, Kualitas Bangunan Jadi Sorotan Tanah Kavling Strategis View Waduk Karian, Pinggir Jalan Provinsi Rangkas–Bogor, Harga Mulai 100 Jutaan! Reposisi Bukan Dalih Merampas Hak: Jawaban FIF Central Dinilai Penuh Celah, Aktivis: “Ini Bukan Teknis, Ini Dugaan Perampasan Rebut Sebelum Kehabisan! Tanah Kavling Strategis View Waduk Karian, Pinggir Jalan Provinsi Rangkas–Bogor, Harga Mulai 100 Jutaan!

News

Diam Itu Emas, Wartawan Yang Baik Juga Beretika Tahu Kapan Bicara dan Kapan Menahan Kata

badge-check


					Hadits Nabi ﷺ yang masyhur, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam,” (HR. Bukhari-Muslim). (Foto: IST. Mantv7.id) Perbesar

Hadits Nabi ﷺ yang masyhur, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam,” (HR. Bukhari-Muslim). (Foto: IST. Mantv7.id)

Mantv7.id – Ada kalanya wartawan bukan dinilai dari seberapa banyak ia menulis, tetapi dari seberapa bijak ia menahan kata. Hadits Nabi ﷺ yang masyhur, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam,” (HR. Bukhari-Muslim). Seharusnya jadi pegangan kuat bagi para pewarta, profesi ini mulia, tapi mulia hanya bagi yang menjaga kehormatan lisan dan tulisannya. Menjadi wartawan berarti siap bicara lantang membela kebenaran. Tapi bicara lantang tanpa kendali justru bisa menjadi bumerang. Pepatah ulama berkata, “Tarkul jawabu alal jahili jawabun” diam terhadap orang bodoh pun sudah jawaban. Dalam dunia yang gaduh oleh komentar miring, wartawan sejati tahu kapan harus menulis, kapan harus diam, dan kapan harus hanya tersenyum.

Sayangnya, di era “klik dan viral” seperti sekarang, banyak yang lupa. Wartawan seolah berlomba siapa yang paling cepat tayang, bukan siapa yang paling tepat data. Padahal Nabi ﷺ pernah mengingatkan, “Barang siapa yang banyak diam, maka ia akan selamat.” (HR. Ahmad). Diam yang dimaksud bukan pasrah, tetapi menahan diri sebelum jari menulis hal yang kelak bisa dituntut di pengadilan.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)

Aktivis kerohanian dan sosial, Ustad Ahmad Rustam, mengingatkan, “Wartawan itu saksi sejarah. Saksi sejarah tidak boleh bicara seenaknya. Satu kalimat saja bisa jadi amal jariyah kalau benar, atau sebaliknya jadi dosa jariyah kalau salah.” Pesan ini menegaskan, menjadi wartawan berarti siap bicara lantang membela kebenaran, tetapi lantang tanpa kendali justru bisa menjadi bumerang. Pepatah ulama pun berkata, “Tarkul jawabu alal jahili jawabun” – diam terhadap orang bodoh pun sudah merupakan jawaban.

Tentu saja diam di sini bukan berarti bungkam pada kebenaran. Wartawan tetap harus mengungkap fakta, menulis apa adanya, dan menjadi kontrol sosial. Namun diam yang bijak adalah diam dari debat kusir, diam dari adu mulut dengan orang jahil, dan diam dari godaan menulis isu yang belum jelas sumbernya. Inilah yang disebut “emasnya diam” menjaga wibawa profesi dengan kecerdasan hati.

Al-Qur’an pun sudah memberi peringatan keras, “Tidak ada satu kata pun yang terucap melainkan dicatat oleh malaikat pengawas.” (QS. Qaf:18). Jika malaikat saja mencatat setiap kata, bagaimana mungkin wartawan bisa mengabaikan tanggung jawabnya pada setiap kalimat yang terbit atas nama medianya?

Al-Qur’an pun sudah memberi peringatan keras, “Tidak ada satu kata pun yang terucap melainkan dicatat oleh malaikat pengawas.” (QS. Qaf:18). (Foto: IST. Mantv7.id)

Wartawan baik dan beretika tidak terjebak pada riuh netizen; ia bekerja bukan untuk pencitraan, melainkan demi tanggung jawab moral profesi.

Ayat Al-Furqan:63 mengajarkan, “Apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka menjawab dengan kata-kata yang selamat.” Jawaban wartawan atas cacian bukan dengan sumpah serapah, tapi dengan data dan verifikasi. Yang berisik biarlah tetap berisik, yang profesional tetap fokus pada fakta.

Kita semua tahu, pena wartawan ibarat pedang bermata dua. Satu sisi bisa membela yang lemah, tapi di sisi lain bisa melukai bila salah ayun. Diam kadang jadi rem yang menyelamatkan. Sebab, tulisan tanpa data hanyalah bualan, dan bualan adalah racun bagi profesi jurnalistik.

Banyak sengketa pers berujung pidana bukan karena niat buruk, tapi karena ketidakhati-hatian memilih kata. Maka hadits Nabi “Allah merahmati seseorang yang berkata baik lalu mendapat kebaikan, atau diam dari keburukan lalu selamat” (HR. Thabrani) seharusnya ditempel di dinding setiap ruang redaksi sebagai pengingat harian.

Diam itu emas, karena emas tidak berkarat meski disimpan lama. Wartawan yang sabar memverifikasi sebelum menulis akan tetap bersinar meski terlambat tayang. Sementara wartawan yang hanya mengejar sensasi akan cepat pudar, seperti pasir yang habis disapu angin.

Di lapangan pun wartawan diuji. Bertemu narasumber arogan atau pejabat yang memancing emosi itu sudah biasa. Tapi wartawan profesional tahu, satu kalimat kasar bisa menghancurkan citra medianya sendiri. Maka diam atau menjawab santun justru menjaga harga diri profesi.

Bagi wartawan muslim, setiap kata adalah amanah. Menahan diri dari kalimat sia-sia adalah ibadah. Setiap berita yang ditulis dengan hati-hati adalah sedekah ilmu bagi masyarakat. Jangan remehkan satu paragraf, karena bisa jadi satu paragraf itulah yang kelak menjadi amal jariyah atau sebaliknya menjadi dosa jariyah.

Tarkul jawabu alal jahili jawabun” diam pun bisa jadi jawaban yang lebih menohok. (Foto: IST. Mantv7.id)

Pada akhirnya, wartawan yang cerdas bukan yang paling keras bersuara, tapi yang paling bijak menakar kata. Pepatah ulama sudah jelas, “Tarkul jawabu alal jahili jawabun” diam pun bisa jadi jawaban yang lebih menohok. Dan bagi wartawan, diam yang tepat waktu kadang lebih berharga daripada seribu headline.

Jadi, sebelum menulis, tarik napas, cek data, timbang kata. Sebab wartawan bukan sekadar pencatat peristiwa, tapi saksi sejarah. Dan sejarah akan mencatat: siapa yang menulis dengan hati-hati akan dikenang, siapa yang asal menulis akan hilang ditelan waktu.

REDAKSI | OIM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

PT Marta Berdikari Nusantara Santai Buka Lowongan, Buruh Lama Masih Menjerit Keadilan

16 July 2025 - 13:20 WIB

Tanah Kavling Strategis View Waduk Karian, Pinggir Jalan Provinsi Rangkas–Bogor, Harga Mulai 100 Jutaan!

16 July 2025 - 09:34 WIB

Reposisi Bukan Dalih Merampas Hak: Jawaban FIF Central Dinilai Penuh Celah, Aktivis: “Ini Bukan Teknis, Ini Dugaan Perampasan

16 July 2025 - 09:30 WIB

Rebut Sebelum Kehabisan! Tanah Kavling Strategis View Waduk Karian, Pinggir Jalan Provinsi Rangkas–Bogor, Harga Mulai 100 Jutaan!

16 July 2025 - 07:37 WIB

Publik Mana yang Terluka? Yang Bayar Pajak dan Masih Percaya Sama Kantor Desa Itu!

15 July 2025 - 08:13 WIB

Trending on Hukum