Mantv7.id | Kabupaten Tangerang – Sudah tiga kali kisah Ibu Ami disorot media. Tiga kali pula pemerintah desa seolah tak melihat. Di Kampung Sondol, RT 10/03, Desa Kemuning, Ibu Ami tinggal bersama suami dan anaknya. Rumahnya bocor. Hujan turun, air masuk. Si kecil menggigil, tidur di atas tikar lusuh yang tak lagi layak disebut alas. Suaminya kerja serabutan. Hari ini dapat, besok belum tentu. Bantuan sosial? Entah kemana. Sampai hari ini, tak ada pejabat desa yang datang menengok, bertanya, atau sekadar mengetuk pintu. Yang terdengar hanya kabar di luar: Wakil Bupati bicara soal prestasi penurunan angka stunting di forum resmi.
Tapi apa arti statistik kalau di desa sendiri, masih ada ibu dan anak yang bertarung dengan bocor dan dingin tiap malam? Kata “konvergensi lintas sektor” jadi terdengar lucu di telinga rakyat seperti mereka. Di atas kertas semua rapi. Di lapangan, kenyataan sering kali jauh lebih pahit.
Kepala Desa Kemuning, setidaknya, pasti sudah baca atau dengar berita sebelumnya. Tapi anehnya, tidak ada gerak. Tidak datang ke rumah. Tidak mengirim staf. Tidak bicara ke publik. Masyarakat bertanya: “Apa sebenarnya kerja kepala desa kalau warga kesusahan begini saja tidak ditanggapi?”
Camat Kresek juga tak luput dari sorotan. Di struktur birokrasi, camat itu orang penting. Tapi di mata warga, dia jadi sosok jauh dan asing. Kalau ada rumah jebol dan dia tak tahu, lalu siapa yang sebenarnya dia pimpin? Apakah camat hanya hadir kalau ada acara formal dan tumpeng di atas meja?
Desa Kemuning bukan desa kosong. Ada seksi kesejahteraan sosial, pembangunan, pelayanan, sampai BPD. Tapi rumah yang hampir roboh itu tetap dibiarkan. Orang kampung mulai bertanya: “Apa mereka kerja hanya untuk isi laporan SPJ, atau memang sudah lupa cara jadi pelayan masyarakat?”
Seksi kesejahteraan mestinya jadi garda depan. Tapi kenyataannya, sibuk mengurus proposal pelatihan atau kegiatan seremonial. Sementara tempat tinggal yang bocor dan rapuh dibiarkan. Kalau kasus seperti Ibu Ami saja tak bisa dicatat, apalagi ditangani, lalu kerja mereka untuk siapa?
Seksi pembangunan juga lebih fokus ke proyek-proyek besar. Jalan, gorong-gorong, tembok penahan tanah. Tapi perbaikan satu rumah warga miskin tak masuk skala prioritas. Mungkin karena tak bisa difoto untuk bahan laporan. Atau karena, ya… tidak ada nilai proyeknya.
Staf desa lain pun ikut diam. Duduk di balik meja ber-AC, mungkin tak sempat melihat keluar jendela. Padahal, kondisi satu rumah bisa mencerminkan banyak hal termasuk cara berpikir dan empati pemerintahannya. Jika satu rumah jebol saja tak terurus, bagaimana dengan urusan lain yang lebih rumit?

Foto Zarkasih yang dikenal dengan Rizal, Ketua DPD YLPK-PERARI Provinsi Banten
Ketua YLPK PERARI DPD Banten, Rizal, menyampaikan kritik tegas. “Kalau sudah tiga kali diberitakan tapi tetap tidak ada reaksi, itu bukan lagi kelalaian. Itu pembiaran. Kepala desa dan camat harus dipanggil dan dimintai pertanggungjawaban. Rakyat miskin tidak boleh terus-menerus diabaikan.”
Apalah arti penurunan angka stunting dari 7,7% ke 7,3%, jika ada anak kecil yang tiap malam tidur dalam lembab dan kelaparan? Prestasi seharusnya terasa di dapur warga, bukan hanya di layar PowerPoint.

Foto Ibu Ami, suami dan anak di Kampung Sondol, RT 10/03 Desa Kemuning. Tinggal di rumah bocor bersama suami dan anaknya, keluarga ini hidup dari kerja serabutan. (Foto: Mantv7.id)
Sekjen LMPI (Laskar Merah Putih Indonesia) MAC Kresek, Otoy, juga angkat bicara. “Kami tidak akan diam. Rumah-rumah yang tidak layak huni di wilayah Kresek harus disorot terus. Kalau desa dan kecamatan tetap tutup mata, kami akan turun ke kabupaten. Ini bukan soal politik, ini soal hati nurani.”
Redaksi Mantv7.id mendesak agar Inspektorat, BPKP, dan Ombudsman segera turun ke lapangan. Jangan hanya percaya laporan kertas. Fakta di lapangan tak bisa dipalsukan oleh SPJ.
Bantuan sosial, BLT, hingga hibah desa harus diaudit total. Jangan sampai hak orang kecil dikorup lewat sistem yang rapi tapi tak punya hati. Ibu Ami dan keluarganya adalah bukti nyata bahwa masih ada yang tertinggal jauh di belakang.
Kami pun berharap, Bupati dan Wakil Bupati Tangerang bisa turun tangan langsung. Ini bukan soal gengsi karena sudah tiga kali diberitakan. Ini soal moral kepemimpinan. Kalau pemimpin diam saat rakyatnya menggigil, sejarah akan mencatat: mereka bukan pelindung, tapi penonton penderitaan.
Dan jika hingga minggu ini belum juga ada langkah nyata, publik akan mengingat: Kepala Desa Kemuning dan Camat Kresek gagal. Gagal sebagai pemimpin. Gagal sebagai pelayan. Dan gagal menunjukkan empati sebagai sesama manusia.
(OIM)