MANtv7.id, Kabupaten Tangerang — Fenomena maraknya koperasi simpan pinjam dengan bunga tinggi di wilayah Balaraja, Kabupaten Tangerang, kini mulai menuai sorotan tajam. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan, masyarakat kerap tergiur dengan janji manis pinjaman “5 menit cair hanya dengan KTP”, namun belakangan terjebak dalam beban bunga mencekik yang berujung tekanan psikologis hingga ancaman sosial.
Dugaan kuat mengarah pada keberadaan praktik pinjaman tidak sehat yang berkedok koperasi. Nama-nama seperti bank emok, bank lay, dan bank keliling muncul sebagai pelaku dominan yang menawarkan kemudahan, namun di baliknya diduga menyimpan kontrak hutang berbunga tinggi dan tidak transparan.

Gambar ilustrasi Bank Emok sedang menawarkan pinjaman proses dengan mudah. (Foto: MANtv7.id)
Pertanyaan besar pun muncul: apakah koperasi-koperasi tersebut telah mengantongi izin resmi dari dinas koperasi dan UMKM Kabupaten Tangerang? Jika sudah berizin, di mana transparansi dan pengawasannya? Jika belum, mengapa dibiarkan tumbuh subur tanpa tindakan tegas dari instansi berwenang?
Lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa koperasi diduga menerapkan praktik penahanan identitas peminjam seperti KTP dan KK sebagai jaminan. Bukankah penahanan dokumen pribadi tanpa dasar hukum yang sah merupakan bentuk pelanggaran hak asasi dan berpotensi melanggar Pasal 368 KUHP tentang pemerasan?
Kondisi ini semakin ironis ketika dinas terkait, termasuk Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Sosial, serta aparat kecamatan, terkesan diam. Apakah mereka benar-benar tidak mengetahui, ataukah memang sudah mengetahui tapi memilih bungkam dan membiarkan rakyat menjadi tumbal sistem?
Masyarakat seperti dipaksa hidup dalam “ilusi kemudahan finansial”, padahal sejatinya mereka sedang dijerumuskan dalam pusaran hutang berkepanjangan. Ketika pemerintah membentuk dinas dan lembaga untuk melindungi rakyat, seharusnya pula mereka hadir mencegah praktik yang justru memperdagangkan penderitaan warganya sendiri.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Pasal 60 secara tegas menyatakan bahwa pengawasan atas jalannya koperasi menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Jika hal ini terus diabaikan, maka potensi pembiaran bisa menjadi bentuk kelalaian struktural yang mencederai amanat konstitusi.

Kolase foto logo YLPK-PERARI & MANtv7. (Foto: MANtv7.id)
Ustad Ahmad Rustam, Ketua Keagamaan YLPK PERARI DPD Banten, dalam pernyataannya menegaskan: “Riba itu laksana memakan api neraka. Rasulullah SAW bersabda, ‘Allah melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya dan dua saksinya, mereka semua sama.’ (HR. Muslim). Maka siapa pun yang membiarkan praktik riba terjadi di tengah umat, sejatinya ia tengah menyuburkan kehancuran moral masyarakat.”
Dengan adanya dugaan pelanggaran ini, aparat penegak hukum seperti Polresta Tangerang, Kejaksaan Negeri, dan bahkan OJK serta Satgas Investasi harus segera turun tangan. Tidak cukup hanya sekadar imbauan; harus ada investigasi menyeluruh terhadap izin, mekanisme bunga, dan praktik jaminan identitas yang diterapkan oleh koperasi-koperasi ini.
Kritik tajam patut diarahkan kepada Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Tangerang. Apa fungsi mereka bila tidak mampu mendeteksi dan menindak koperasi yang justru menjadi alat pemerasan legal? Keberadaan mereka jangan sampai hanya sebatas papan nama tanpa peran nyata.
Pemerintah Kabupaten Tangerang harus segera mengkaji ulang seluruh sistem pengawasan koperasi di wilayahnya. Jika perlu, bentuk tim investigasi independen untuk menyisir koperasi yang meresahkan warga. Langkah ini penting agar masyarakat tidak lagi merasa menjadi objek penderitaan dari sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Kini, saatnya negara benar-benar hadir. Jangan tunggu ada korban jatuh lebih dalam baik secara psikologis, sosial, maupun spiritual. Dugaan eksploitasi kemiskinan melalui pinjaman berbunga tinggi adalah bentuk penjajahan gaya baru yang harus dihentikan sebelum menjelma menjadi kanker sosial.
Dalam negara yang beradab, rakyat tidak boleh menjadi korban sistem yang dibuat untuk melindungi mereka. Dalam masyarakat yang bermoral, penderitaan akibat riba harus dilawan bersama. Dan dalam hukum yang berkeadilan, pelanggaran sekecil apa pun harus diproses, bukan didiamkan.
(OIM)