Mantv7.id | Kabupaten Tangerang – Proyek pemagaran dan renovasi kantor TPU Kirana di Desa Pasanggrahan, Kecamatan Solear, Kabupaten Tangerang, yang menguras hampir Rp100 juta dari APBD, kembali jadi tontonan publik. Alih-alih melahirkan pagar kokoh, yang lahir justru pagar rapuh, pekerjaan asal-asalan, dan ocehan mandor yang lebih keras dari batu bata murahan. Mandor berinisial UJ entah dapat keberanian dari mana. Dengan enteng ia menuding wartawan hanya datang untuk mengemis “uang koordinasi”. Kalimat ini bukan sekadar menohok, tapi membongkar borok: mulut yang lancang sering kali menutupi proyek yang berantakan. “Ini pelecehan profesi. Wartawan hadir dengan mandat konstitusi, bukan untuk dipermalukan. Kalau ada mandor berani bicara seperti itu, berarti sistem pengawasan proyek ini benar-benar ambruk,” kata Zarkasih, S.H., Ketua YLPK PERARI DPD Banten, Senin (15/9/2025).

Foto Zarkasih, S.H., Ketua YLPK PERARI DPD Banten. (Foto: Mantv7.id)
Sindiran Zarkasih kian telak: kalau proyek ini beres, kenapa harus panik dengan kedatangan wartawan? Kalau material sesuai RAB, kenapa harus lempar fitnah murahan? Justru karena banyak janggal, maka mulut mandor pun dipakai sebagai pagar palsu untuk menutupi tembok rapuh.
Tak berhenti di situ, Donny Putra. T, S.H., pengurus Law Firm Hefi Sanjaya & Partners, menegaskan ada dugaan pelanggaran hukum yang serius. “Ucapan itu bisa masuk ke ranah pencemaran nama baik. Kalau benar ada praktik ‘setoran’ ke media, ini bisa masuk ke dugaan gratifikasi. Bau busuknya jelas, tinggal aparat mau cium atau pura-pura pakai masker tebal,” ucap Donny tajam.
Ironisnya, proyek senilai hampir Rp100 juta yang dipegang CV. Haidar Bangun Cipta justru memamerkan kualitas murahan. Material seperti sisa proyek kampung, pengerjaan tanpa standar, dan pagar yang seakan bisa roboh hanya dengan disentuh angin. Tapi, Dinas Perkim Kabupaten Tangerang dan UPT Pemakaman, seolah kehilangan suara. Diamnya bukan kebijaksanaan, tapi lebih mirip konspirasi.
“Kalau dinas diam, pengawas tidur, kontraktor berpesta, lalu siapa yang sebenarnya menjalankan fungsi negara? Ini jelas dugaan maladministrasi. Kalau dibiarkan, jadi tradisi bancakan berjamaah,” sentil Zarkasih lagi.
Publik di lapangan pun geleng-geleng kepala. Hampir Rp100 juta dianggarkan, tapi pagar yang terlihat tak sepadan dengan nilainya. Alih-alih kokoh, hasilnya justru menimbulkan tanda tanya: apakah anggaran benar-benar terserap ke pembangunan, atau ada yang menguap di jalan?”
Di balik mulut lancang mandor, ada pertanyaan lebih besar: ke mana mata pengawas? Apakah mereka sibuk menghitung honor bulanan atau sengaja menutup mata demi “uang rokok”? Bila pengawas hanya jadi hiasan absen, lebih baik posisinya diganti CCTV minimal kamera tidak bisa disuap.
Tak kalah penting, di mana Camat Solear saat rakyatnya bertanya soal proyek amburadul ini? Camat seolah menghilang di balik meja rapat. Padahal, kecamatan adalah garda awal pengawasan sosial. Kalau camat ikut bungkam, berarti diamnya sudah naik kelas: dari kelalaian jadi dugaan pembiaran.
Lebih tinggi lagi, bola panas ini kini ada di meja Bupati Tangerang. Namun, publik sudah hafal: bola itu biasanya tak pernah digiring ke gawang hukum, melainkan ditendang ke kolong meja birokrasi. Rakyat diminta sabar, sementara proyek amburadul jadi monumen ketidakseriusan.
Lalu bagaimana dengan Inspektorat Daerah? Lembaga yang seharusnya jadi “mata elang” pengawasan justru lebih mirip kucing rumahan: jinak di hadapan pejabat, galak hanya saat audit formalitas. Jika inspektorat hanya sibuk bikin laporan indah di atas kertas, lalu siapa yang benar-benar menjaga uang rakyat?
Komunitas wartawan pun menegaskan tidak akan tunduk pada mulut kotor mandor. “Kami bukan tukang ngemis. Profesi wartawan bukan mainan, apalagi dilekatkan dengan istilah ‘uang koordinasi’. Ini penghinaan, sekaligus tamparan bagi demokrasi,” ujar seorang jurnalis senior.
YLPK PERARI mengajak semua wartawan, media, dan asosiasi pers untuk viralkan kasus ini. Jangan biarkan pelecehan profesi dan proyek bobrok ditutup-tutupi. Suara pers harus jadi palu yang membongkar kelalaian pejabat dan kontraktor nakal.
Jika kasus ini dibiarkan, bukan hanya pagar TPU yang rapuh, tapi juga pagar moral pejabat. Jangan heran bila ke depan APBD terus jadi ladang bancakan, proyek setengah jadi terus lahir, sementara rakyat hanya kebagian debu pembangunan.
APBD itu uang rakyat. Kalau alergi dengan wartawan yang mengawasi, berarti ada ketakutan yang coba ditutup rapat.
REDAKSI | OIM