Mantv7.id | Nasional — Harapan besar kini mengarah kepada Kejaksaan Republik Indonesia. Di tengah kerumitan hukum dan carut-marut sosial yang terus menghantui negeri ini, Kejaksaan dituntut tidak hanya hadir, tetapi tampil sebagai garda terdepan dalam membela kepentingan rakyat. Lembaga ini harus menjadi benteng terakhir penegakan hukum yang adil dan tak pandang bulu, terutama dalam membasmi korupsi penyakit kronis yang selama ini menjadi akar keterpurukan dan penghambat utama kesejahteraan bangsa.
Dugaan kelalaian sistematis dari para ASN dan pejabat pemerintah di berbagai dinas, badan, hingga OPD kian menelanjangi kenyataan pahit: gaji dari pajak rakyat tidak berbanding lurus dengan tanggung jawab moral dan fungsional. Mereka yang seharusnya menjadi pengawas, kini justru abai dalam tugas-tugas pengawasan, monitoring, koreksi lapangan, hingga ceklis berkala.
Akibat lalainya pelaksanaan fungsi dasar ini, berbagai proyek pembangunan menjadi ladang basah penyimpangan. Di balik tumpukan dokumen SPJ yang rapi, tersimpan potensi kerugian negara yang membusuk diam-diam. Bila tak diawasi, siapa yang menjamin kebenaran pelaksanaan di lapangan?
Ketua Umum Garda Tipikor Indonesia, Panca Dwikora Soekarno,( PDS ) sekaligus Pimprus, Pimpred JURNALPATROLINEWS menyampaikan bahwa korupsi bukan hanya kejahatan Negara, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap hak-hak dasar masyarakat. Ia menekankan bahwa selama praktik korupsi masih dibiarkan merajalela, maka impian Indonesia untuk menjadi Negara maju, adil, dan sejahtera akan terus tertunda.
Garda Tipikor Indonesia telah menegaskan bahwa korupsi bukan hanya tindak pidana biasa, tapi pengkhianatan telanjang terhadap hak rakyat. Ketua Umumnya, Panca Dwikora Soekarno, bahkan menuding pengabaian terhadap fungsi pengawasan sebagai akar subur berkembangnya korupsi dalam balutan birokrasi.
“Penegakan Hukum tidak boleh berhenti di meja sidang. Ia harus sampai pada pemulihan kepercayaan rakyat dan perbaikan nyata dalam kehidupan mereka. Di situlah kesejahteraan rakyat mulai dibangun dari keberanian menegakkan Hukum dan ketegasan menata keadilan,” pungkasnya.
Lalu, di mana para ASN yang seharusnya menyusuri proyek? Ke mana para pejabat bidang dan seksi yang punya kewenangan teknis? Kapan terakhir mereka turun langsung mengecek fisik hasil proyek dan bukan hanya mengisi kolom laporan? Pertanyaan ini menjadi hantaman telak di tengah publik yang terus dicekik akibat dampak pembangunan abal-abal.

Foto Kabid Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
Siarruddin, Kabid Humas DPP YLPK PERARI, menegaskan bahwa “Setiap kerugian negara yang timbul akibat kelalaian pengawasan adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Tak cukup hanya dengan tandatangan di atas kertas, ASN harus hadir di medan tugas yang sesungguhnya, bukan hanya di ruangan ber-AC.”
Begitu banyak dugaan pembiaran yang dapat dirunut ke satu akar: ASN yang tidak menjalankan fungsi pengawasan lapangan sebagaimana mestinya. Dari instansi ke instansi, dari bidang ke bidang, tak jarang ‘kerja birokrasi’ hanya sebatas rutinitas formalitas.
Buyung E., aktivis sosial yang kerap turun ke masyarakat, memberikan kritik tajam yang membangun: “Birokrasi kita hari ini lebih sibuk membungkus kesalahan daripada membongkarnya. Kalau pengawasan mati, maka proyek pasti cacat. Kalau monitoring fiktif, maka rakyatlah yang dikhianati.”

Foto Buyung, aktivis sosial Kabupaten Tangerang. (Foto: IST. Mantv7.id)
Bukan hanya soal kelalaian, ini tentang pola: proyek disahkan, anggaran dicairkan, pekerjaan dibiarkan. Ketika hasilnya rusak, tak ada satu pun pejabat yang merasa harus bertanggung jawab. Lantas, buat apa ada seksi pengawasan? Buat apa ada koordinasi teknis kalau hanya menjadi formalitas seremonial?
Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum kini dipanggil untuk bertindak. Bila fungsi internal ASN lumpuh, maka tak ada pilihan selain tangan hukum yang bekerja. Sebab seperti yang disampaikan Panca Dwikora, “Keadilan sosial tidak akan terwujud jika jaksa yang jujur justru dikalahkan oleh sistem internal yang tak adil.”
Lebih parah, ada dugaan bahwa promosi dan posisi dalam birokrasi lebih berpihak pada loyalitas politik daripada integritas kerja. Di sinilah sumber ironi pemerintahan: mereka yang menolak bermain kotor justru terpinggirkan, dan para pencatat angka-angka manipulatif naik pangkat.
Kini, harapan rakyat tinggal pada keberanian penegak hukum dan kepedulian pemimpin. Bila pembiaran terus dibiarkan, maka kerusakan sistem bukan lagi kemungkinan, tetapi keniscayaan. Jangan tunggu negara runtuh baru kita sibuk membentuk tim investigasi.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
YLPK PERARI menyerukan agar Bupati dan Wakil Bupati di seluruh daerah tidak hanya duduk nyaman di atas laporan dari bawahannya. Saatnya mengetuk meja, memeriksa langsung, dan menuntut hasil bukan hanya dari SPJ, tetapi dari dampak nyata di masyarakat.
Karena penegakan hukum tidak bisa hanya bergantung pada jaksa. Penataan keadilan harus dimulai dari dalam, dari ASN yang berani jujur, dari pejabat yang berani mengoreksi, dan dari pimpinan yang berani bertindak meski melawan arus.
Dan untuk mereka yang tetap diam dalam jabatan, ingatlah satu hal: “Pangkat bisa dibeli, tapi kepercayaan rakyat tidak.” Jangan menunggu rakyat marah untuk memperbaiki birokrasi. Karena dalam sejarah bangsa, ketika rakyat bersuara, yang diam akan tergulung bersama kebusukan yang mereka biarkan.
(OIM | Mantv7.id)
🟨 Diterbitkan oleh Mantv7.id | Disarikan dari JPN dan pernyataan eksklusif YLPK PERARI serta aktivis sosial.