Mantv7.id — Pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid yang termasyhur itu, hidup seorang lelaki yang dikenal sebagai Buhlul. Ia disebut majnunorang gila oleh masyarakat sekitar. Namun di balik gelar yang tampaknya merendahkan itu, tersembunyi kebijaksanaan yang mendalam. Buhlul adalah tokoh sufi yang dikenal dengan cara-cara nasihatnya yang tak biasa: satir, paradoksal, dan menggugah. Suatu hari, Khalifah sendiri mendapati Buhlul tengah duduk di area pemakaman, memulai percakapan yang kelak mengguncang batin sang penguasa.
Khalifah Harun memanggilnya dari kejauhan, “Wahai Buhlul yang majnun, kapan engkau akan waras?” Sebuah pertanyaan yang bernada meremehkan, namun penuh rasa ingin tahu. Tak disangka, Buhlul merespons dengan berlari dan memanjat pohon, lalu balik bertanya dengan nada tajam: “Hai Harun yang majnun, siapa sebenarnya yang gila aku atau engkau?” Pertanyaan ini bukan hanya balasan, tapi tamparan eksistensial yang menggoyang konsep kewarasan dan kegilaan.
Ketika sang Khalifah menghampirinya, Buhlul melontarkan kalimat penuh filosofi yang menyayat: “Aku waras karena aku tahu bahwa istanamu itu akan hancur, dan kuburan ini adalah tempat abadi. Aku memilih mempersiapkan diri untuk yang kekal, sementara engkau sibuk membangun yang fana.” Sebuah pembalikan logika duniawi yang menampar kesadaran, menunjukkan bahwa kegilaan sejati bukanlah soal perilaku aneh, tapi ketika manusia melupakan hakikat akhir kehidupan.
Kisah ini tak semata anekdot sejarah, tapi peringatan keras bagi siapa saja yang merasa memiliki kekuasaan, jabatan, atau kemapanan. Dari ketua RT hingga Presiden, dari pemilik toko kecil hingga konglomerat semua akan berpindah dari istana masing-masing menuju liang lahat. Suka atau tidak, bersiap atau tidak. Dan dalam transisi itu, tak ada tahta, harta, atau popularitas yang bisa dibawa.
Dialog mereka terus berlanjut, hingga Khalifah tersentuh dan menangis. Ia meminta nasihat kepada Buhlul, yang menjawab singkat namun dalam: “Cukuplah bagimu Kitab Allah, dan peliharalah.” Sebuah pesan sederhana, namun terasa asing di zaman sekarang di mana kitab ditinggalkan dan etika diinjak demi kekuasaan, citra, dan keuntungan pribadi. Dalam kegilaan Buhlul tersimpan petunjuk jalan yang lurus.
Namun Buhlul tak berhenti di situ. Ketika Khalifah menawarkan bantuan, ia meminta tiga hal: perpanjangan umur, perlindungan dari malaikat maut, dan jaminan surga. Tentu ketiganya tidak bisa dipenuhi. Dan saat itulah Buhlul menegaskan: “Kalau begitu, engkau bukan siapa-siapa. Aku tidak butuh bantuanmu.” Sebuah pengingat pahit bahwa kekuasaan manusia memiliki batas absolut, bahkan oleh seorang Khalifah dunia.
Renungan ini sangat relevan hari ini. Betapa sering kita saksikan para penguasa lokal dan nasional berlomba membangun pencitraan, mengakumulasi kekayaan, atau memperpanjang pengaruh politiknya. Tapi jarang di antara mereka yang terlihat mempersiapkan dirinya untuk kematian. Kuburan hanya jadi lokasi kampanye atau tempat berziarah saat perlu. Padahal, itu adalah destinasi yang pasti.
Kita hidup di zaman ketika kegilaan Buhlul dianggap aneh, namun kegilaan dunia dianggap wajar. Korupsi dianggap pintar, tipu daya politik dianggap strategi, dan kemunafikan dianggap keluwesan. Dunia terbalik. Justru mereka yang mengingat mati dianggap depresif, dan mereka yang sibuk dengan dunia dianggap visioner. Inilah tragedi peradaban kita.
Buhlul mengajarkan bahwa kewarasan sejati adalah menyadari kefanaan dunia dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan selanjutnya. Namun berapa banyak dari kita yang malah berbangga diri dengan status, harta, dan pujian palsu? Kita tertawa melihat “orang gila” duduk di kuburan, padahal mungkin dia sedang mentertawakan kita semua yang sibuk merawat fatamorgana.
Bayangkan bila setiap pemimpin diberi pertanyaan seperti Buhlul: “Mampukah kau memperpanjang umur rakyatmu? Menyelamatkan mereka dari maut? Menjamin mereka selamat dari siksa akhirat?” Jika jawabannya adalah tidak, maka tugas utama pemimpin adalah membimbing rakyat menuju kebaikan, bukan sekadar membangun jalan, pasar, atau gedung-gedung yang kelak lapuk. Bukankah pemimpin sejati adalah yang menuntun, bukan menyesatkan?
Bagi rakyat, kisah ini juga menjadi pelajaran penting. Jangan terlalu mendewakan tokoh atau pemimpin. Jangan pula mencibir orang yang tampak sederhana, bahkan dianggap “tak waras.” Bisa jadi, justru di sanalah suara Tuhan berbicara lewat kebijaksanaan yang disembunyikan dari mata dunia. Jangan lupa, Nabi pun pernah dianggap gila oleh kaumnya.
Dan untuk anak-anak muda yang sedang sibuk mengejar dunia, kisah ini seperti alarm dini. Bahwa keberhasilan bukan diukur dari seberapa banyak followers, saldo, atau prestasi akademik. Tapi seberapa siap kita pulang kepada Tuhan. Dunia ini hanya ruang tunggu, bukan tujuan akhir. Kita bukan sedang membangun rumah, kita hanya menumpang di terminal.
Pada akhirnya, kisah Buhlul dan Harun bukan sekadar sejarah, tapi cermin yang jujur. Siapa yang sebenarnya gila: dia yang duduk di kuburan atau kita yang terlalu cinta dunia? Dunia adalah fatamorgana, dan kematian adalah pintu yang pasti. Mari kembali waras, dengan menjadikan akhirat sebagai prioritas dan menjadikan kitab Allah sebagai peta hidup. Sebab hanya orang bijak yang menyiapkan diri sebelum dijemput pulang.
(OIM)