Mantv7.id — Kabupaten Tangerang | Di tengah harapan publik terhadap tata kelola lingkungan yang bersih dan akuntabel, justru mencuat dugaan pemborosan anggaran oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Tangerang. Forum Media Banten Ngahiji (FMBN) menyoroti tajam penggunaan anggaran tahun 2024 yang mencapai lebih dari Rp150 miliar, namun ironisnya, hasil di lapangan tidak mencerminkan efektivitas anggaran tersebut. Fakta mencolok: Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatiwaringin di Kecamatan Sukadiri disegel Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) karena dugaan pelanggaran operasional.
Penyegelan TPA Jatiwaringin yang dilakukan KLH pada Jumat (16/5/2025) memicu tanda tanya besar: ke mana arah penggunaan anggaran DLHK yang begitu besar? Apakah perencanaan anggaran telah sesuai dengan prinsip efisiensi dan efektivitas? Dalam konteks ini, publik layak mencurigai adanya dugaan penyimpangan tata kelola, baik secara administratif maupun teknis, yang dapat berujung pada konsekuensi pidana.
Ketua FMBN, Budi Irawan, membeberkan rincian anggaran DLHK yang dikantongi berdasarkan data PPID elektronik: Rp33,9 miliar untuk belanja barang, Rp52,8 miliar untuk jasa, Rp28,3 miliar untuk peralatan, dan belanja modal lainnya yang menembus angka puluhan miliar. Pertanyaan mendasarnya: bagaimana pengaruh semua belanja tersebut terhadap kebersihan lingkungan di Kabupaten Tangerang?
Ironi ini semakin dalam ketika publik menemukan fakta di lapangan bahwa pengelolaan TPA tidak hanya bermasalah, tapi disegel karena dugaan pelanggaran aturan. Apakah ini hasil dari pengawasan yang lemah? Siapa yang harus bertanggung jawab? Bukan hanya DLHK, namun Inspektorat Daerah, Bappeda, bahkan DPRD yang menyetujui anggaran pun patut disorot. Jangan sampai birokrasi justru menjadi ruang subur bagi pemborosan dan ketidakberesan.
Wakil Ketua FMBN, M. Soleh, mendesak agar Inspektorat segera melakukan audit investigatif terhadap seluruh struktur anggaran DLHK. Bila ada pelanggaran administratif, harus diberi sanksi. Bila ada dugaan korupsi, aparat penegak hukum seperti Kejari dan Polda Banten wajib turun tangan. Bukan sekadar menunggu laporan, tapi aktif menyisir potensi kerugian negara.

Ilustrasi foto kumpulan pejabat sedang rapat. (Foto: IST. Mantv7.id)
Dalam konteks hukum, pengelolaan keuangan negara diatur ketat dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelanggaran terhadap prosedur dan penggunaan anggaran yang tidak sesuai bisa dijerat Pasal 3 UU Tipikor, dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun.
Kritik ini juga layak diarahkan kepada Camat Sukadiri, Lurah setempat, hingga Kepala Desa yang wilayahnya terdampak langsung oleh buruknya pengelolaan TPA. Mereka bukan hanya simbol, tapi pemegang tanggung jawab sosial. Jika diam saja melihat kerusakan lingkungan, lantas fungsi pengawasan mereka di mana?
DLHK Kabupaten Tangerang, sebagai pelaksana teknis, tidak bisa hanya mengandalkan narasi seremonial dan laporan administratif. Masyarakat menilai dari dampak dan hasil. Bila dengan anggaran sebesar itu TPA justru disegel, ini bukan hanya kegagalan teknis ini alarm merah untuk integritas birokrasi.
Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tangerang yang baru terpilih tidak boleh tinggal diam. Dalam semangat reformasi birokrasi dan transparansi publik, kepala daerah harus segera memerintahkan evaluasi menyeluruh terhadap DLHK dan semua OPD yang terlibat dalam perencanaan, pengawasan, dan pelaksanaan anggaran lingkungan. Jangan sampai rakyat menganggap pemimpinnya hanya pencitraan belaka.
Aktivis kerohanian Balaraja, Ustad Ahmad Rustam, turut bersuara tegas dalam kritik bernuansa islami. “Siapa pun yang mengelola anggaran rakyat, jika melalaikan amanah dan menghamburkan dana tanpa manfaat, maka ia telah berkhianat kepada umat. Allah SWT melaknat pemimpin yang dzalim, termasuk mereka yang menyia-nyiakan kepercayaan. Ingat, uang rakyat bukan untuk dipamerkan, tapi untuk digunakan seadil-adilnya,” tegasnya.
Dengan penyegelan TPA oleh KLH, maka ini bukan sekadar persoalan teknis, tapi juga menyangkut marwah pemerintahan daerah. Satirnya, dana besar yang seharusnya menyelamatkan lingkungan justru menjadi bahan cemoohan publik karena tidak membuahkan hasil yang nyata. Ini ibarat membeli kapal mewah untuk berenang di kolam bocor.
Semua elemen pengawasan mulai dari DPRD, Inspektorat, hingga lembaga audit independen harus mengedepankan tanggung jawab moral dan hukum. Jangan tunggu viral dulu baru bertindak. Jangan menutup telinga ketika kritik datang dari media dan LSM. Demokrasi tidak berjalan tanpa suara kritis.
Sebagai penutup, mari kita kembalikan marwah anggaran negara sebagai alat untuk melayani rakyat, bukan alat untuk menguntungkan segelintir pihak. Kritik dari FMBN bukan semata bentuk kegaduhan, melainkan bagian dari kontrol sosial yang sah. Saatnya birokrasi bangun dari tidur panjang, sebelum rakyat sepenuhnya kehilangan harapan.
(OIM)