Mantv7.id – Kabupaten Tangerang |Dugaan praktik pengelolaan limbah B3 ilegal kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, sorotan tertuju pada wilayah Desa Dangdeur, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang. Berdasarkan penelusuran tim jurnalis Mantv7.id, ditemukan aktivitas pengumpulan limbah medis berupa jarum suntik, botol infus, insulin, hingga botol obat yang diduga dilakukan tanpa izin resmi. Lantas, ke mana mata para pemangku wilayah mengarah? Kades, Camat, dan dinas terkait, apakah sedang tertidur di atas tumpukan dokumen?
Bermula dari pengakuan Supriadi, salah satu pelaku lapangan, limbah tersebut diperoleh dari seseorang bernama Pak Jalal. Ia menyebut barang-barang berbahaya itu disuplai untuk dibersihkan dan dipesan oleh Pak Bahaudin, warga Dangdeur RT 03/01. Saat tim Mantv7.id mendatangi lokasi, hanya dijumpai pria bernama Bang Gun yang menyatakan bahwa Pak Baha sedang tidak ada di tempat. Ketika dihubungi, Pak Baha hanya menjawab singkat, “Minggu ini sedang sibuk.” Sibuk urusan apa? Urusan limbah atau menghindar dari konfirmasi?
Jika benar limbah medis itu berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan dan dikelola tanpa izin resmi, maka telah terjadi pelanggaran serius terhadap UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 103 tegas menyebut, siapa pun yang menghasilkan limbah B3 dan tidak mengelolanya sesuai aturan, diancam pidana penjara 3 tahun dan denda Rp3 miliar. Apakah aparat penegak hukum akan membiarkan fakta ini sekadar menjadi wacana tanpa penindakan?
Dalam surat pernyataannya, Jalaludin sempat menyebut limbah tersebut berasal dari PT WPLI. Nama perusahaan besar yang seharusnya taat regulasi ini, kini dikaitkan dalam dugaan pengalihan limbah ke pihak-pihak tidak berizin. Jika benar, maka Pasal 116-118 UU No. 32/2009 tentang tanggung jawab pidana korporasi bisa dikenakan. Apakah DLH, Dinas Kesehatan, dan instansi pengawas lingkungan hidup di Kabupaten Tangerang sedang lupa membaca undang-undang?
Masyarakat berhak tahu. Negara tidak boleh kalah oleh mafia limbah. Pengelolaan limbah medis tanpa pengawasan bukan hanya mencederai hukum, tapi juga mencabut nyawa secara perlahan. Limbah infeksius yang seharusnya dimusnahkan sesuai prosedur justru berpindah ke tangan-tangan tak bersertifikat. Siapa yang bermain? Siapa yang diam?
Dugaan praktik ilegal ini bukan semata urusan administrasi, tetapi menyangkut nyawa publik. Jika limbah B3 didaur ulang secara sembarangan dan masuk ke pasar bebas, maka ancaman pencemaran, infeksi, dan kerusakan lingkungan akan menjadi bom waktu. Di sinilah aparat penegak hukum polisi, jaksa, hingga PPNS lingkungan wajib hadir bukan sebagai penonton, melainkan eksekutor keadilan.
Ustad Ahmad Rustam, Kepala Kerohanian YLPK Perari DPD Banten, menyatakan dengan tegas, “Barang siapa yang mempermainkan bahaya terhadap manusia dan alam demi keuntungan duniawi, maka sesungguhnya ia telah menanam benih azab di dunia dan akhirat. Dalam hukum negara, perbuatan ini telah dijerat oleh undang-undang yang sah dan wajib ditegakkan. Jangan jadikan hukum hanya tajam ke bawah.” Sebuah sindiran keras bagi mereka yang mengelola dosa dalam bentuk bisnis.

Kolase foto-foto bukti limbah B3 yang ada di lapak Supriadi. (Foto: Mantv7.id)
Perlu dicermati, Pasal 102 UU PPLH menyebut, dumping limbah ke lingkungan tanpa izin bisa dipidana 3 tahun dan denda Rp3 miliar. Jika benar praktik ini berjalan lama, di mana Dinas Lingkungan Hidup? Apakah izin penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan limbah telah diverifikasi? Jika tidak, maka ketegasan Pemkab Tangerang patut dipertanyakan. Bupati dan Wakil Bupati terpilih, Anda dipilih rakyat, Anda harus turun untuk menindak siapa saja yang meracuni rakyat.
PP No. 101 Tahun 2014 secara rinci mengatur jenis dan tata kelola limbah B3. Jika perusahaan atau individu terlibat dalam aktivitas ilegal, maka sanksi administratif hingga pencabutan izin adalah konsekuensi logis. Namun, sayangnya, sanksi itu tak pernah menyentuh akar jika pengawas masih bermain mata dengan pelaku. Apakah pengawasan hanya formalitas, atau justru bagian dari simbiosis jahat?
Kades, lurah, camat, dan seluruh aparat wilayah tempat limbah itu berpindah tangan seharusnya tahu dan bertindak. Tidak mungkin aktivitas seberbahaya ini berlangsung tanpa suara, tanpa jejak. Maka, jika diam, bisa jadi mereka bukan tidak tahu, tapi tidak mau tahu. Dan jika tidak mau tahu, maka bisa jadi sedang “ikut serta”.
Lebih lanjut, apabila ditemukan pemalsuan dokumen seperti manifest, surat jalan, atau dokumen uji lab, maka Pasal 263 KUHP dapat dikenakan. Ancaman pidana hingga enam tahun penjara jelas bukan main-main. Tapi pertanyaannya: siapa yang berani menindak? Atau semua sedang sibuk, seperti Pak Baha?

Kolase foto logo YLPK-PERARI & MANtv7. (Foto: MANtv7.id)
YLPK PERARI DPD Banten dan tim redaksi Mantv7.id menyatakan akan mengawal kasus ini hingga tuntas. Kami bukan hanya menyajikan berita, tapi menghidupkan suara rakyat yang haus keadilan. Kami tidak gentar terhadap tekanan, karena yang kami perjuangkan bukan hanya fakta, tapi keselamatan umat dan bangsa.
Sudah terlalu lama praktik haram semacam ini dibiarkan tumbuh. Limbah B3 bukan mainan anak-anak. Butuh kompetensi, izin, dan integritas tinggi untuk mengelolanya. Jika yang mengelola justru mereka yang tak punya dasar hukum, maka pemerintah harus bertindak cepat. Diamnya negara, adalah pembiaran terhadap kejahatan.
Satir ini bukan untuk menghina, tetapi untuk menggugah. Kritik ini bukan untuk menyerang, tetapi untuk menyadarkan. Rakyat tak butuh pemimpin yang hanya pandai berswafoto, tetapi yang mau turun menjejak lumpur, menyapu limbah dari rumah ke rumah, menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Akhir kata, penegakan hukum adalah cermin kehormatan negara. Jika hari ini aparat dan pejabat berani tutup mata terhadap limbah beracun yang meracuni bumi dan nurani, maka sejarah kelak akan mencatat: mereka bukan hanya gagal, tetapi turut andil dalam kehancuran. Jangan sampai, limbah menjadi warisan paling gelap dalam lembaran kabupaten yang katanya “Gemilang”.
(OIM & BUYUNG)