Mantv7.id | Dalam dinamika pemerintahan desa, keberadaan organisasi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) memiliki peran yang sangat penting. APDESI diharapkan menjadi wadah komunikasi, koordinasi, sekaligus penguat transparansi bagi para kepala desa. Namun, perjalanan ini tentu tidak lepas dari tantangan, terutama dalam menjaga marwah organisasi agar benar-benar berdiri untuk kepentingan masyarakat. Beberapa waktu terakhir, muncul sorotan dari publik mengenai tata kelola Dana Desa. Laporan keuangan yang terlihat rapi sering kali kontras dengan kondisi di lapangan: jalan cepat rusak, irigasi seadanya, dan program pembangunan yang dirasakan belum optimal. Hal ini memunculkan tanda tanya: apakah fungsi pengawasan dan pendampingan sudah berjalan sebagaimana mestinya?
Dalam konteks inilah, posisi Ketua, Sekretaris, dan Bendahara (KSB) APDESI menjadi sorotan. Jabatan yang semestinya menjadi amanah pengabdian sering kali dipersepsikan publik sebagai kursi strategis. Tidak hanya terkait administrasi organisasi, tetapi juga membuka akses komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga pengawas, hingga potensi dukungan politik.
Isu yang berkembang di masyarakat, jabatan KSB bahkan dianggap sebagai pintu masuk bagi berbagai peluang, baik dalam konteks pembangunan maupun kemitraan. Hal ini tentu menjadi pengingat bahwa jabatan tersebut bukanlah sekadar posisi formal, melainkan tanggung jawab besar yang harus dijaga dengan penuh integritas.
Lembaga pengawas pun tak luput dari perhatian publik. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), Inspektorat, hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki peran strategis dalam memastikan pengelolaan Dana Desa berjalan transparan dan akuntabel. Kritik yang muncul hendaknya dimaknai sebagai bahan evaluasi agar fungsi kontrol lebih nyata terasa di lapangan, bukan hanya sebatas seremoni atau formalitas.
Menurut pengamat hukum, Donny Putra T., S.H. dari Law Firm Hefi Sanjaya & Partners, setiap dugaan penyimpangan Dana Desa tidak bisa dianggap remeh. “Jika ada indikasi penyalahgunaan, itu bukan sekadar persoalan administrasi. Potensi hukum pidana bisa melekat, dan pihak-pihak yang lalai mengawasi juga bisa ikut dimintai pertanggungjawaban,” jelasnya.
Dari sudut pandang spiritual, Ustad Ahmad Rustam mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah. “Dalam Islam, setiap pemimpin desa memegang tanggung jawab besar. Dana Desa adalah titipan rakyat, sehingga wajib dikelola secara jujur. Jangan sampai organisasi justru berubah menjadi tameng yang menutupi kesalahan. Amanah ini akan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat,” pesannya.
Sementara itu, Buyung E., Humas DPD YLPK Perari Banten, menekankan pentingnya keterbukaan. “Jika indikasi manipulasi uang rakyat terus terjadi tanpa perbaikan, akan lahir ketidakpercayaan. Masyarakat punya hak untuk tahu, dan punya hak untuk menuntut keadilan. Transparansi adalah kunci agar tidak muncul gejolak di kemudian hari,” ujarnya.
Melihat dinamika tersebut, perebutan kursi KSB APDESI seyogianya tidak dipandang sebagai ajang mencari keuntungan pribadi, melainkan ruang untuk menunjukkan pengabdian terbaik bagi desa. Publik berharap, jabatan ini benar-benar diisi oleh figur yang memiliki integritas, bukan hanya kepentingan pragmatis.
Pada akhirnya, APDESI akan dinilai dari kiprahnya: apakah ia menjadi garda depan dalam membela kepentingan desa dan warganya, atau justru larut dalam kepentingan kursi? Di titik inilah, amanah kepemimpinan diuji bukan hanya di mata manusia, tetapi juga di hadapan Sang Pencipta.
Hingga berita ini diturunkan, pihak APDESI, DPMD, dan Inspektorat Kabupaten Tangerang belum menyampaikan keterangan resmi terkait dinamika dan sorotan publik yang berkembang.
REDAKSI | OIM