Mantv7.id | Kabupaten Tangerang – Bayangkan seorang ibu yang menempuh 38 kilometer setiap tiga bulan hanya untuk duduk di sisi pusara suaminya, berbicara dan menangis seolah ia masih ada di sampingnya. Inilah Bu Mawar, sosok perempuan Minang yang cinta dan kesetiaannya selama 20 tahun membuat siapa pun terdiam haru. Menjelang ulang tahunnya yang ke-60, cinta Bu Mawar pada mendiang Pak Ali tetap menyala, seolah maut tak pernah mampu memisahkan mereka. Bagi Bu Mawar, cinta bukan sekadar kata, tapi komitmen seumur hidup.
Perjalanan cinta mereka bukanlah romansa modern. Bu Mawar, lahir tahun 1965, menikah dengan Pak Ali, pria 13 tahun lebih tua, melalui perjodohan. Tanpa pacaran, tanpa proses pengenalan panjang, ia merelakan dirinya merantau jauh dari kampung halaman demi membangun rumah tangga.
Cinta mereka tumbuh seiring waktu, hangat dan penuh kasih. Namun pada 2004, Pak Ali berpulang di usia 52 tahun, meninggalkan Bu Mawar sebagai orang tua tunggal bagi anak-anak mereka. Anak ketiga SMA kelas 3, anak keempat SD kelas 4, dan si bungsu masih balita, harus dibesarkan sendirian. Duka itu kian mendalam karena anak pertama dan kedua telah lebih dulu meninggalkan mereka.
Meski hidupnya berubah drastis, Bu Mawar tidak pernah menyerah. Ia menjadi sosok ibu yang luar biasa, setiap menit hidupnya dipenuhi doa-doa untuk ketiga anaknya. Baginya, anak-anak adalah warisan cinta yang paling berharga, manifestasi nyata dari cinta abadi bersama Pak Ali.
Setiap kunjungan ke makam Pak Ali menjadi ritual sakral. Ia duduk di sisi pusara, mengusap lembut batu nisan, bercerita tentang suka duka membesarkan anak-anak, mengenang masa indah, dan menangis saat rindu menghampiri. Terkadang senyum, terkadang air mata semuanya adalah wujud cinta yang tak lekang oleh waktu.
Selama dua dekade menjanda, banyak pihak mencoba mencarikan pengganti Pak Ali. Dari pengusaha mapan hingga pria biasa, semua ditolak. Bu Mawar hanya memiliki ruang hati untuk Pak Ali. Kesetiaan itu bukan sekadar kata, tapi perilaku nyata yang dijalankan setiap hari.
Saat anak-anaknya bertanya tentang pernikahan lagi, Bu Mawar menatap mereka dengan penuh kasih dan berkata: “Almarhum tetap hidup di hati Emak, karena ada kalian yang tumbuh di samping Emak.” Kata-kata itu menggambarkan satu hal: cinta sejati tidak pernah mati, ia hidup dalam hati dan tindakan.
Kisah Bu Mawar mengajarkan kita bahwa cinta sejati bukan soal kemewahan, lamanya pacaran, atau penampilan luar. Cinta sejati adalah kesetiaan, pengorbanan, dan keberanian untuk tetap menjaga ikatan, bahkan ketika waktu dan jarak memisahkan.
Selain sebagai istri yang setia, Bu Mawar adalah ibu teladan. Ia selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anaknya, menuntun mereka tumbuh dewasa dengan kasih sayang dan perhatian. Inilah pelajaran edukatif tentang bagaimana cinta dapat menjadi pondasi keluarga yang kuat.
Ritualnya di makam bukan sekadar ziarah, tapi juga bentuk edukasi emosional bagi anak-anaknya. Dari situ mereka belajar arti kesetiaan, tanggung jawab, dan bagaimana menghargai orang yang dicintai, meski telah tiada.
Kisah ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat modern bahwa cinta dan komitmen bukan hanya tentang kata-kata indah, tetapi tindakan nyata yang konsisten dan tulus, baik untuk pasangan maupun anak-anak.
Dalam dunia yang serba cepat ini, Bu Mawar mengingatkan kita: cinta sejati itu abadi, pengorbanan itu mulia, dan doa seorang ibu adalah kekuatan yang mampu menuntun anak-anaknya meraih kehidupan yang lebih baik.
REDAKSI | Mantv7.id