Mantv7.id | Kabupaten Tangerang – Alih-alih memberi manfaat, pelaksanaan program revitalisasi SDN Talagasari 02 dengan pagu Rp229,6 juta justru memunculkan dugaan-dugaan janggal. Fakta di lapangan memperlihatkan tanda tanya besar: pekerja semua berasal dari luar daerah, tidak ada satu pun warga sekitar yang dilibatkan. Padahal, semangat swakelola adalah pemberdayaan masyarakat lokal. Indikasi abainya aspek keselamatan juga tampak kasat mata. Para pekerja diduga bekerja tanpa standar K3 hanya bersandal dan bercelana pendek.
Kesan asal-asalan ini menimbulkan pertanyaan serius: di mana pengawasan dari pihak sekolah, dinas pendidikan, hingga aparat wilayah? Lebih ironis, proyek yang seharusnya ramah lingkungan sekolah malah tidak memiliki pembatas aman. Siswa tetap belajar berdekatan dengan area berisiko tinggi. Seolah keselamatan anak didik bukan prioritas, melainkan korban dari tata kelola yang setengah hati.

Pengamat hukum Donny Putra T, S.H., dari Law Firm Hefi Sanjaya & Partners. (Foto: Mantv7.id)
Dari sisi hukum, Donny Putra T, S.H., aktivis hukum dan sosial dari Law Firm Hefi Sanjaya & Partners, mengingatkan, “Jika benar ada praktik tanpa K3, tanpa melibatkan warga lokal, ini masuk dugaan pelanggaran tata kelola. Swakelola bukan berarti bebas aturan. Ada asas akuntabilitas dan transparansi yang harus ditegakkan. Lalai bisa berimplikasi pada dugaan tindak pidana kelalaian, bahkan korupsi kebijakan jika ada unsur penyalahgunaan.”

Zarkasih, S.H., Ketua DPD Banten YLPK Perari. (Foto: Mantv7.id)
Sementara itu, Zarkasih, Ketua YLPK Perari DPD Banten, tak kalah pedas menyampaikan, “Dana rakyat yang digelontorkan lewat APBN dan APBD bukan untuk dipakai main-main. Kalau rakyat sekitar tidak diberdayakan, lalu keselamatan diabaikan, apa artinya program? Pemerintah daerah, dinas pendidikan, camat, kepala desa, bahkan inspektorat semua harus disorot. Jangan hanya hadir saat pencairan, tapi lenyap saat pengawasan.”

Foto Ustad Ahmad Rustam aktivis kerohanian dan sosial Kabupaten Tangerang. (Foto: Mantv7.id)
Dari perspektif agama, Ustad Ahmad Rustam, menegaskan, “Jabatan itu amanah, bukan sekadar posisi. Mengabaikan keselamatan anak sekolah sama saja menodai tanggung jawab moral. Dalam Islam, siapa yang mengkhianati amanah akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Sayangnya, kita lebih sering lihat proyek jalan, tapi nurani pejabatnya macet.”
Keresahan warga sekitar pun nyata. Seorang warga yang enggan disebut namanya mengungkapkan, “Sejak awal kami tidak diajak terlibat. Semua pekerja dari luar. Padahal kami juga butuh kerja. Sekarang anak-anak belajar di sekolah dengan kondisi berbahaya. Kami benar-benar kecewa dan khawatir.”
Indikasi lemahnya fungsi pengawasan bukan hanya tanggung jawab sekolah atau panitia (P2SP), tetapi juga menyentuh ranah dinas pendidikan, camat, kepala desa, hingga inspektorat kabupaten. Semua pejabat itu digaji dari uang rakyat, tapi diduga abai menjalankan tupoksi.
Jika kondisi ini dibiarkan, program revitalisasi yang semestinya menghadirkan keberkahan justru berubah jadi sumber keresahan. Warga kehilangan manfaat ekonomi, UMKM lokal tidak tersentuh, dan siswa hidup dalam bayang-bayang risiko.
Program ini seolah berhenti pada laporan administrasi semu: RAB rapi di atas kertas, tapi di lapangan justru rawan. Rakyat hanya disuguhi janji manis, tanpa bukti nyata pengawasan.
Layak dicurigai, ada pola “asal jadi” yang sengaja dipelihara. Dengan alasan percepatan, kualitas kerja dikorbankan, dan partisipasi publik dilupakan. Pertanyaannya: apakah pejabat daerah benar-benar serius, atau sekadar menjalankan proyek formalitas?
Jika memang serius, inspektorat, dinas pendidikan, camat, dan kepala desa harus segera turun tangan. Bukan hanya mengisi laporan evaluasi, tapi memastikan bahwa standar keselamatan, transparansi, dan partisipasi berjalan sesuai aturan.
Jika tidak, dugaan ini bisa menguat menjadi bukti bahwa pejabat publik kita lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga amanah. Dan pada akhirnya, rakyat kembali jadi korban membayar dengan pajak, tapi menanggung keresahan.
Mantv7.id menilai, kasus ini bukan sekadar soal pembangunan gedung sekolah. Ini adalah cermin keroposnya kinerja birokrasi: administrasi tanpa hati, tanggung jawab tanpa nurani, dan amanah yang diremehkan.
REDAKSI | OIM