Aplikasi “JAGA” Dana Desa: Rakyat Kini Bisa Mengintip, Mengawasi, dan Melaporkan — Transparansi di Genggaman, Oknum Tak Bisa Lagi Main Mata
Mantv7.id | Tangerang – Jika ada pejabat desa yang masih berpikir dana desa bisa disulap jadi kas pribadi, lebih baik buka lagi buku hukum. Karena hari ini rakyat punya senjata lengkap: mulai dari UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, sampai Aplikasi JAGA KPK. Semua instrumen hukum dan teknologi ini jadi pagar kokoh agar uang rakyat tidak berubah jadi “sapi perahan”. Pasal 9 ayat (1) UU KIP sudah jelas menegaskan: “Badan publik wajib mengumumkan informasi publik secara berkala.” Badan publik di sini termasuk pemerintah desa. Artinya, semua program, kegiatan, hingga laporan keuangan desa bukan hak eksklusif kepala desa atau bendahara, melainkan hak seluruh warga. Lebih lanjut, Pasal 11 UU KIP menyebut informasi yang wajib tersedia setiap saat meliputi laporan keuangan, daftar aset, hingga kegiatan yang dibiayai APBN/APBD. Kalau ada kepala desa yang menolak membuka data APBDes dengan alasan “rahasia”, jelas-jelas ia sedang melawan hukum.

Foto Dok. (IST)
Bukan hanya itu, UU Desa No. 6 Tahun 2014 juga menegaskan bahwa masyarakat desa berhak untuk mengawasi dan mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa (Pasal 68 ayat 1 huruf d). Bahkan Pasal 24 huruf d UU Desa menekankan prinsip transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Foto Dok. (IST)
Lebih detail lagi, Permendagri No. 20 Tahun 2018 Pasal 40 menyatakan: pemerintah desa wajib menginformasikan APBDes kepada masyarakat secara terbuka, mudah diakses, dan dipahami. Biasanya melalui papan informasi, baliho di balai desa, atau media digital. Jadi, kalau APBDes hanya disimpan di laci bendahara, itu bukan sekadar malas, tapi melanggar aturan.
Transparansi bukan hanya jargon. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga memberi mandat pengawasan. Ditambah lagi, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara membuka ruang bagi BPK untuk mengaudit setiap rupiah yang keluar dari kas negara, termasuk dana desa.
Siklus Dana Desa dimulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban, yang semua diatur secara hukum. RPJMDes dan RKPDes harus disusun partisipatif melalui musyawarah desa (Pasal 79 UU Desa & Pasal 32 Permendagri 20/2018), APBDes ditetapkan dengan Peraturan Desa dan wajib diinformasikan terbuka (Pasal 37 & 40 Permendagri 20/2018), pelaksanaan pembangunan harus sesuai rencana dan APBDes (Pasal 81 UU Desa & Pasal 54 Permendagri 20/2018), serta semua transaksi dicatat bendahara (Pasal 35 Permendagri 20/2018) agar tidak ada “uang tanpa jejak”.
Selain itu, kepala desa wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan desa setiap tahun (Pasal 82 UU Desa) dan realisasi APBDes tiap semester (Pasal 71 Permendagri 20/2018), sementara pertanggungjawaban akhir APBDes harus diserahkan paling lambat Januari tahun berikutnya (Pasal 75 Permendagri 20/2018). Memahami siklus ini memberi warga dasar hukum kuat untuk mengawasi Dana Desa, memastikan anggaran digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan pribadi.
Tak berhenti di situ, publik juga punya senjata digital: Aplikasi JAGA milik KPK. Di sinilah partisipasi publik dikunci dengan teknologi. Melalui JAGA, masyarakat bisa memantau anggaran, kegiatan, hingga melaporkan dugaan penyimpangan. Semua berbasis data, semua terdokumentasi. Tidak ada lagi alasan “tidak tahu”.
Ketika laporan publik masuk ke KPK lewat JAGA, pejabat desa harus sadar: hukum pidana bisa menjerat. Pasal 3 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) tegas menyebut: penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri yang merugikan keuangan negara bisa dihukum maksimal 20 tahun penjara.
Selain itu, jika pejabat desa sengaja menyembunyikan informasi publik, mereka juga bisa dikenai sanksi. Pasal 52 UU KIP menyebut pejabat publik yang dengan sengaja tidak menyediakan informasi publik yang wajib diumumkan dapat dipidana penjara 1 tahun dan/atau denda Rp 5 juta. Murah? Mungkin. Tapi cukup jadi pintu masuk jerat hukum.
Mari jujur, selama ini kasus dana desa sering berputar pada modus lama: proyek fiktif, markup, laporan palsu. Semua tumbuh subur karena budaya tutup-tutupan. Padahal, hukum sudah jelas: tidak ada satu pun alasan sah untuk menutup data APBDes dari warga.
Ustad Ahmad Rustam, pemerhati kerohanian dan sosial, menekankan bahwa transparansi dan kejujuran adalah cerminan iman. Menurutnya, setiap rupiah yang digunakan untuk pembangunan desa harus menjadi amal nyata bagi rakyat, bukan ladang keuntungan pribadi. “Kalau hati dan nurani pejabat jernih, maka setiap proyek dan dana akan membawa berkah, bukan fitnah,” tegas Ustad Ahmad Rustam.

Pengamat hukum Donny Putra T, S.H., dari Law Firm Hefi Sanjaya & Partners. (Foto: Mantv7.id)
Sementara itu, praktisi hukum Donny Putra T, S.H. menegaskan bahwa pengelolaan Dana Desa yang tidak sesuai aturan bisa berujung pidana. Ia menekankan pentingnya dokumentasi, pencatatan, dan pelaporan yang lengkap sesuai UU Desa dan Permendagri 20/2018. “Warga berhak meminta laporan dan menuntut pertanggungjawaban, karena hukum memberikan dasar kuat untuk mengawasi setiap rupiah Dana Desa,” ujarnya.

Foto Buyung E, Humas DPD YLPK PERARI Banten. (Foto: Mantv7.id)
Dalam kesempatan terpisah, Buyung. E, humas YLPK Perari DPD Banten, menegaskan: “Jangan pernah bermain-main dengan dana desa. Itu uang rakyat, amanah konstitusi, dan harus dijalankan dengan penuh keterbukaan. Jika pejabat desa menutup-nutupi data, itu bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi sudah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Kami mendesak aparat hukum, inspektorat, hingga bupati untuk tidak lagi tutup mata. Hukum sudah jelas, tinggal keberanian menegakkannya.”
Karena itu, warga harus berani. UU sudah di tangan, aplikasi JAGA sudah tersedia, pasal-pasal hukum sudah tajam. Jangan biarkan desa jadi “ladang gelap” segelintir elit. Seperti kata pepatah, “matahari hukum tidak pernah tenggelam, tinggal kita mau buka tirai atau tetap betah dalam gelap.”
Transparansi bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban hukum yang dijamin UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, agar rakyat berhak tahu dan pejabat wajib jujur.
REDAKSI | Mantv7.id