Mantv7.id | Jakarta – Utang negara kini sudah menembus angka mengerikan, Rp8.900 triliun. Tahun ini, pemerintah harus membayar Rp800 triliun utang jatuh tempo. Beban sebesar itu seharusnya membuat pengelolaan keuangan negara jadi perhatian utama, bukan malah jadi ladang kebocoran dan pembiaran. Mirisnya, uang rakyat yang seharusnya dipakai untuk pembangunan dan kesejahteraan malah mengendap di rekening mati. PPATK mengungkap lebih dari 2.000 rekening pemerintah dan bendahara negara yang tidak aktif, dengan saldo Rp500 miliar. Dana bansos sebesar Rp2,1 triliun juga terkubur di jutaan rekening penerima yang sudah bertahun-tahun tidak aktif.

Logo PPATK. (IST. Mantv7.id)
Ini bukan kesalahan administratif biasa. Ini adalah pengkhianatan serius terhadap kepercayaan dan hak rakyat. Mental birokrat yang malas dan budaya tutup mata sudah menjadi kanker yang menggerogoti birokrasi dari pusat hingga desa.
Para pejabat di Dirjen Perbendaharaan, Dirjen Anggaran, Dirjen Pajak, dan Dirjen Bea Cukai seolah-olah pura-pura tidak tahu kondisi ini. Inspektorat Jenderal dan wilayah hanya sibuk buat laporan formalitas tanpa adanya tindakan nyata. Mereka gagal menjalankan fungsi pengawasan yang sebenarnya.
Di tingkat daerah, Dinas Keuangan di provinsi dan kabupaten justru sibuk memperindah data dan laporan, tanpa mengawal realisasi anggaran dengan jujur. Kepala desa, sekretaris desa, dan aparat kecamatan yang punya wilayah pengawasan sosial justru jadi penonton bisu atas pembiaran dana bansos mengendap.
Sistem IT dan pengelolaan data keuangan digital juga amburadul. Data penerima bansos yang mati suri dan rekening dormant menjadi bukti buruknya manajemen data. Seksi IT, bidang data, dan satgas digital di kecamatan dan desa wajib bertanggung jawab atas kekacauan ini.
Pengawas eksternal seperti BPK, KPK, dan Ombudsman juga harusnya jadi benteng terakhir pengawasan. Tapi kenyataannya mereka lamban bertindak, bahkan terkesan jadi pelindung para koruptor dan pembiaranya.

Logo Hefi Sanjaya & Partners. (Foto:Mantv7.id)
Donny Putra T, S.H., pengamat hukum dan pengurus Law Firm Hefi Sanjaya & Partners, mengingatkan bahwa ASN harus bertanggung jawab secara hukum dan moral atas pengelolaan anggaran. “Setiap kelalaian yang merugikan negara wajib diberi sanksi tegas. Tidak boleh ada toleransi. Jika pengawasan internal dan eksternal gagal, maka sistem harus dibongkar dan direformasi,” tegasnya.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
Dari sudut pandang sosial dan etika pemerintahan dalam hukum Islam, Ustad Ahmad Rustam menyatakan bahwa membiarkan dana rakyat bocor dan tidak tepat sasaran adalah dosa besar. “Pemerintah harus menjalankan amanah dengan jujur dan adil. Mereka yang lalai akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia dan akhirat,” ujarnya tegas.

Logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
Buyung E, aktivis sosial dan Humas DPD YLPK Perari Banten, menegaskan bahwa pembiaran dana bansos adalah pengkhianatan sosial terhadap rakyat kecil. “Dana rakyat harus digunakan untuk kesejahteraan, bukan memperkaya segelintir oknum. Kami akan kawal kasus ini sampai ada tindakan nyata,” katanya penuh semangat.
Semua lini, mulai dari Dirjen Kemenkeu sampai kepala desa, dari inspektorat sampai penegak hukum, wajib bertindak cepat dan bertanggung jawab. Jika tidak, mereka bukan hanya pengkhianat uang rakyat tapi juga pengkhianat masa depan bangsa.
Indonesia tak bisa terus berlayar dengan kapal bocor yang ditambal seadanya. Sudah saatnya ganti pejabat yang lalai dan korup dengan pemimpin yang punya integritas dan keberanian. Rakyat sudah terlalu lama jadi korban janji kosong dan kegagalan sistem.
Kalau penguasa masih santai dan pembiaran terus terjadi, rakyat akan terus menderita. Ini bukan soal politik, ini soal hidup mati bangsa.
Saatnya bertindak, bukan berdiam diri!
REDAKSI | Mantv7.id