Mantv7.id | Jakarta — Pernyataan Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, yang dimuat oleh media arus utama seperti Kompas.com dan Tempo.co pada 7 Juli 2025 pukul 16.19 WIB, dalam berita berjudul “Banyak Wartawan ‘Bodrek’ Peras Pemda, Dewan Pers: Akibat Pengangguran”, menyebut maraknya istilah “wartawan bodrek” sebagai dampak dari pengangguran dan kebebasan media sosial. Pernyataan ini mungkin terdengar masuk akal di ruang diskusi. Namun ketika dibawa ke realita lapangan, narasi tersebut justru terasa janggal, bahkan menyakitkan bagi sebagian kalangan.
Sebab kenyataannya: seorang wartawan tidak akan bisa “mengambil keuntungan” dari celah jika tidak ada pihak yang membuka celah itu sendiri. Bila tata kelola pemerintahan berjalan bersih, transparan, dan sesuai aturan, maka kamera dan pena siapa pun tidak akan menjadi ancaman. Keresahan biasanya muncul dari mereka yang tengah menyembunyikan sesuatu.
Label “wartawan bodrek” kini menjadi semacam stempel semena-mena mudah ditempelkan, sulit untuk dibela. Padahal, di balik media kecil dan jurnalis lepas, seringkali berdiri orang-orang dengan idealisme kuat, bekerja tanpa fasilitas, turun langsung ke pelosok, meliput isu yang bahkan media besar enggan menyentuh.

Iustrasi gambar bahwa Pers dalam Demokrasi berperan sebagai pengawas terhadap jalannya pemerintahan dan berbagai lembaga negara lainnya. (Foto: IST. Mantv7.id)
Ustad Ahmad Rustam, aktivis sosial dan kerohanian dari Banten, menyampaikan pandangan tegas namun sarat makna. “Kita tak bisa terus menuding rakyat kecil sebagai biang rusaknya sistem, sementara sistemnya sendiri sudah lama pincang. Wartawan yang benar tak gentar mengkritik. Pejabat yang bersih tak akan takut dikritik. Tapi yang sedang menutup-nutupi, biasanya yang paling reaktif,” ucapnya.

Foto aktivis kerohanian Kabupaten Tangerang asal Balaraja, Ustad Ahmad Rustam. (Foto: Mantv7.id)
Kritik ini relevan. Dalam banyak kasus, justru para jurnalis “bodrek” itulah yang pertama kali mengangkat isu-isu lokal yang luput dari radar nasional. Namun kini, mereka seperti sedang diburu. Bukan karena bersalah, tapi karena tak tunduk.
Siarruddin, Kepala Bidang Humas di YLPK Perari (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri), menyampaikan kritik yang lebih tajam. “Kalau semua jurnalis harus terdaftar di Dewan Pers untuk diakui, kita sedang menciptakan kasta baru dalam dunia pers. Yang di dalam dianggap suci, yang di luar langsung dicap kotor. Ini bukan perlindungan pers, ini pembatasan ruang kritis,” ujarnya.

Foto Kabid Humas DPP YLPK PERARI, Siarruddin. (Foto: Mantv.id)
Menurutnya, yang justru perlu diawasi adalah oknum wartawan yang merasa senior sebagai tameng dan media pusat di daerah yang sibuk menyuguhkan berita pencitraan. “Banyak yang setiap hari hanya menayangkan berita tempelan, dengan framing indah-indah, padahal di baliknya ada tumpukan skandal yang tak tersentuh, atau menjalankan agenda pesanan pihak tertentu,” tambahnya.
“Anehnya, ketika media lokal atau wartawan independen yang masih berintegritas mulai vokal membongkar kebusukan itu, mereka justru dicap pengganggu, dicurigai, bahkan dibungkam dengan alasan klasik: demi menjaga hubungan baik atas nama ‘mitra’,” tegasnya.

Logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
YLPK Perari juga menyerukan kepada asosiasi, komunitas, dan organisasi jurnalis lokal di seluruh Indonesia untuk tidak diam. “Jangan biarkan narasi tunggal ini menciptakan ilusi bahwa hanya mereka yang punya ID resmi ‘terdaftar’ yang layak bicara. Padahal banyak jurnalis lokal yang bekerja dengan nurani dan keberanian, meski tanpa kartu pengenal dari lembaga resmi,” kata Siarruddin.
Masalah pemerasan memang harus diberantas. Tapi jika caranya dengan menggulung semua media kecil dan jurnalis independen, itu bukan solusi itu pembungkaman. Jika hanya yang “terdaftar” yang diberi hak bersuara, maka ini bukan demokrasi. Ini langkah menuju satu pintu kebenaran, dan itu berbahaya.
Yang dibutuhkan hari ini bukn seragam resmi, tapi keberanian menjaga integritas. Sebab tak sedikit pula wartawan “terdaftar” yang hanya mengandalkan siaran pers tanpa verifikasi, atau memilih diam saat menyaksikan penyimpangan. Tapi karena ‘sudah terdaftar’, mereka dibiarkan.
Masyarakat kini semakin cerdas. Mereka bisa membedakan mana berita yang jujur dan mana yang sekadar pesanan. Mereka tahu siapa yang menyuarakan kepentingan publik dan siapa yang menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Mereka tidak peduli wartawan itu terdaftar di mana, yang penting: apakah ia berani bicara kebenaran.
Pers bukan soal kartu. Bukan soal logo besar. Tapi soal keberanian. Maka sebelum sibuk menunjuk “wartawan bodrek”, ada baiknya bercermin: jangan-jangan masalahnya bukan pada wartawan, tapi pada mereka yang terlalu lama nyaman dalam gelap.
Tulisan ini bukan pembelaan terhadap pelaku pemerasan yang menyamar sebagai jurnalis. Ini adalah kritik terhadap narasi yang berpotensi menyamaratakan insan pers yang bekerja secara independen. Keberagaman media adalah napas demokrasi.
Redaksi menyadari pentingnya verifikasi, kode etik, dan profesionalisme dalam kerja jurnalistik. Namun tulisan ini berangkat dari keprihatinan atas wacana yang dapat menyudutkan suara kritis dan membatasi ruang kemerdekaan pers. Mari jaga kebebasan ini, bukan dengan keseragaman, tapi dengan keberagaman yang bertanggung jawab.
REDAKSI | MANTV7.ID