MANtv7.id | Kabupaten Tangerang – Sebuah menara telekomunikasi berdiri menjulang di Kampung Bunar Indah, RT 03/03, Desa Sukatani, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang. Bukan membawa sinyal harapan, melainkan diduga memancarkan gelombang keresahan. Berdiri secara misterius di tengah permukiman padat, tanpa papan proyek, tanpa sosialisasi, tanpa kejelasan kepemilikan. Dan yang lebih mencolok: diduga kuat menara tersebut berdiri tanpa selembar pun izin resmi.
Bangunan raksasa ini patut diduga tak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), UKL-UPL, SPPL, rekomendasi teknis dari Dinas Tata Ruang, maupun persetujuan warga. Bahkan Surat Permohonan resmi ke DPMPTSP pun kemungkinan besar tidak pernah diajukan. Prosedur panjang yang semestinya ditempuh, justru diduga dilompati seperti jalur tol istimewa milik kekuasaan. Ini bukan kelalaian biasa, tapi indikasi kuat adanya penyimpangan administratif yang sangat telanjang.
Yang membuat masyarakat makin resah adalah dugaan pembiaran sistematis oleh para pejabat. DPMPTSP? Diam. Dinas Tata Ruang? Bungkam. Dinas Lingkungan Hidup? Hilang dari radar. Satpol PP? Mendadak tuli dan buta. Camat Cisoka? Seperti tersesat di lorong birokrasi. Kepala Desa Sukatani? Entah sibuk agenda PKK atau diduga pura-pura tak melihat proyek raksasa berdiri di tengah kampung.
Warga tidak pernah diajak bicara, tidak pernah dimintai persetujuan. Pagi-pagi, mereka bangun tidur dengan bayang-bayang besi menjulang di halaman rumah. Ini bukan pembangunan partisipatif, tapi diduga sebagai bentuk perampasan ruang hidup oleh tangan-tangan tak terlihat yang konon punya “akses langsung”.
YLPK PERARI menyebut proyek ini sebagai indikasi rusaknya tata kelola perizinan, dan cermin matinya sistem pengawasan di Kabupaten Tangerang. Hefi Irawan, S.H., Ketua Umum YLPK PERARI, menyatakan tegas:

Foto Ketua Umum YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri), Hefi Irawan, S.H. (Foto: Mantv7)
“Menara seperti ini tidak bisa muncul dari tanah begitu saja. Kalau tanpa dokumen, tanpa persetujuan warga, tanpa izin lingkungan, dan pejabat tahu tapi diam, maka ini bukan sekadar pelanggaran administratif ini dugaan tindak pidana. Dan jika dibiarkan, maka publik punya alasan curiga bahwa ini bagian dari sindikat pelanggaran tata ruang yang terstruktur.”
YLPK PERARI mendesak adanya penyegelan segera, penghentian seluruh aktivitas pembangunan, serta pembongkaran jika terbukti secara hukum menara ini berdiri secara ilegal. Semua instansi diminta berhenti berpura-pura amnesia hukum dan menghentikan drama klasik “masih ditelusuri”.
Jika DPMPTSP benar tidak mengeluarkan izin, mengapa tidak segera mengirim surat teguran atau laporan pelanggaran ke aparat hukum? Jika Dinas Lingkungan Hidup tidak menerima dokumen UKL-UPL atau SPPL, lalu kenapa bisa diam? Jika Satpol PP bisa menggusur pedagang kecil, kenapa tidak punya nyali berhadapan dengan proyek elite yang patut dicurigai melanggar hukum?
Bupati Tangerang pun tak bisa hanya duduk manis memotong pita proyek seremonial. Ketika pelanggaran terang benderang dibiarkan dua bulan lebih, maka diamnya kepala daerah justru menjadi bagian dari dugaan konspirasi struktural yang mencemari tatanan pemerintahan.
Alasan-alasan lama seperti “belum tahu”, “masih dicek”, atau “akan ditindaklanjuti” kini sudah tak lucu. Rakyat tidak butuh dalih. Rakyat butuh tindakan nyata. Kalau satu tower bisa berdiri tanpa izin, patut diduga ada banyak tower siluman lainnya yang sedang atau akan ditancapkan diam-diam di tubuh birokrasi yang ompong.

Logo YLPK PERARI, Tidak akan ada perdamaian tanpa adanya keadilan. (Foto: Mantv7.id)
YLPK PERARI mendesak Polresta Tangerang, Kejaksaan Negeri, hingga KPK untuk menyelidiki dugaan praktik mafia proyek telekomunikasi yang menjamur di bawah radar hukum. Proyek seperti ini bukan sekadar pelanggaran kecil tapi indikasi ancaman terhadap kewibawaan hukum dan hak publik atas ruang yang aman.
Dan jika semua tetap diam jangan salahkan rakyat jika mereka mengambil tindakan sendiri. Karena ketika negara absen melindungi ruang hidup warganya, maka rakyat berhak menjadi garda terdepan mempertahankannya.
Tower ini bukan sekadar rangkaian besi. Ia adalah tugu peringatan atas dugaan matinya wibawa hukum, indikasi musnahnya etika birokrasi, dan simbol runtuhnya rasa malu para pejabat. Maka ketika masyarakat bertanya, “siapa yang memberi izin?”, jangan dijawab dengan senyum sinis.
Kabupaten Tangerang masih bisa gemilang jika pejabatnya kembali pada amanah dan bekerja jujur. Rakyat butuh bukti, bukan janji, dan pengawasan nyata, bukan sekadar formalitas. Bangunan siluman tak akan ada jika tata kelola bersih dan hukum ditegakkan. Saat integritas jadi dasar, kemajuan pun akan mengikuti.
Jawablah dengan tindakan. Atau tunggu amarah rakyat yang tak lagi bisa dibungkam.
(SI – AR)