Mantv7.id | Kota Serang – Klarifikasi Wakil Wali Kota Serang, Nur Agis Aulia, yang disampaikan lewat media lokal pasca viralnya video kontroversial tentang “wartawan dan LSM bodrex” justru mempertebal dugaan publik tentang alergi pejabat terhadap kritik sosial. Alih-alih menenangkan, klarifikasi itu dinilai berubah menjadi drama politis dengan bumbu air mata dan narasi sepihak.
Dalam forum pembinaan kepala sekolah SD yang digelar tertutup oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Serang pada 4 Juni 2025, Agis menyampaikan pernyataan yang menyiratkan pembelaan terhadap guru dari tekanan oknum LSM dan wartawan. Namun publik mempertanyakan motif sebenarnya apakah benar demi perlindungan guru, atau upaya membungkam kontrol sosial?

Kolase statmen Agis dimedia lokal menjelaskan sedih bahwa Kepala Sekolah di peras oknum, tapi tidak ada laporan yang naik. (Foto: IST. Mantv7.id)
Agis menyebut banyak guru jadi korban pemerasan, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada laporan resmi, data pelaku, atau langkah hukum yang bisa diverifikasi. Jika tudingan itu benar, mengapa tidak dibuka ke publik dan dilaporkan ke kepolisian? Jika tidak, mengapa seluruh profesi diseret dengan istilah “bodrex” secara general?
Buyung.E, Kabid Humas DPD YLPK PERARI Banten, mengaku kecewa dan curiga keras. “Ini bukan sekadar kekeliruan diksi, ini indikasi pembunuhan karakter terhadap elemen pengawas kekuasaan. Jangan main-main dengan demokrasi. Kami minta pertanggungjawaban Wakil Wali Kota, Walikota, Kepala Dinas Pendidikan, dan semua OPD yang membiarkan situasi ini mencoreng logika akal sehat publik!”

Foto Buyung, Kabid Humas YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri) DPD Banten. (Foto: IST. Mantv7.id)
Aktivis pendidikan nasional, Bintang Fredianica, menyebut klarifikasi Agis sebagai sandiwara murahan. “Guru jangan dijadikan tameng untuk menendang LSM dan jurnalis. Ini bukan pembelaan, ini pembelokan. Jika memang ingin mendidik, jangan gunakan panggung pendidikan untuk menyerang sipil kritis,” tegasnya.
Pernyataan Agis yang menyebut dirinya “tidak tahu sedang direkam” justru membuka pertanyaan baru. Bila tak siap bertanggung jawab atas ucapan sendiri, bagaimana bisa dipercaya mengelola sektor pendidikan yang sarat dengan tantangan transparansi dan akuntabilitas?
Forum pembinaan yang seharusnya edukatif berubah menjadi ajang politisasi wacana. Dinas Pendidikan perlu menjelaskan siapa penyusun materi, siapa penanggung jawab narasi, dan apakah forum tersebut memang dimaksudkan untuk membina atau mengarahkan opini?
Pertanyaan melebar: ke mana Inspektorat? Apa peran Satpol PP? Di mana Walikota saat anak buahnya menyampaikan diksi kontroversial di ruang formal pendidikan? Jangan sampai ini menjadi pola pembiaran sistemik yang hanya menguntungkan kenyamanan kekuasaan.
Berselimut kolaborasi dengan organisasi wartawan seperti PWI dan PWKS, Agis menyatakan semua telah “damai”. Tapi damai macam apa yang dibangun tanpa transparansi? Kolaborasi seperti apa yang justru berpotensi mengabaikan prinsip etika profesi dan kontrol sosial?
Guru bukan alat politik. Jika ada pemerasan, buka data, sebut pelaku, libatkan aparat hukum. Jika tidak, maka ini adalah upaya menggeneralisasi tuduhan tanpa dasar, yang bisa merusak integritas profesi secara luas. Dan jika itu terjadi, publik berhak mempertanyakan motifnya.
Walikota Serang, Budi Rustandi, tak bisa lagi hanya diam. Fungsi pengawasan bukan sekadar mendelegasikan, tapi memastikan kebenaran dan keadilan ditegakkan. Jika tidak, wajar bila publik menilai ini bukan sekadar kelalaian, tetapi bagian dari sistem pembiaran.
YLPK PERARI mengajak seluruh asosiasi wartawan, LSM, aktivis, dan masyarakat sipil untuk mengambil langkah tegas. “Kalau Wakil Wali Kota serius ingin bantu guru, mari buka seluruh data Dana BOS sekolah negeri! Jika ada oknum, kita sikat sama-sama. Jangan hanya tuding di balik podium,” ujar Buyung.

Gambar logo YLPK PERARI (Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri). (Foto: Mantv7.id)
Kekhawatiran bahwa klarifikasi Agis hanyalah cara penguasa untuk menciptakan musuh bersama dari kalangan sipil kritis semakin menguat. Hari ini “wartawan bodrex”, besok bisa jadi aktivis disebut radikal, dan lusa rakyat dianggap ancaman. Demokrasi yang sehat tak seharusnya lumpuh oleh bayang-bayang ketakutan birokrasi.
Dan untuk para guru yang disebut-sebut, inilah saatnya menjaga marwah profesi. Jangan biarkan suara kalian dipakai untuk menyebar rasa takut. Jika pendidikan ikut dikorbankan demi pencitraan, maka sejarah akan mencatat bahwa saat itu, suara guru tidak dibungkam oleh musuh, tapi digunakan oleh kekuasaan.
Redaksi Mantv7.id membuka ruang hak jawab kepada semua pihak yang disebut dalam berita ini demi menjaga keberimbangan dan tanggung jawab jurnalistik.
(OIM)